4. Destiny

2.2K 377 63
                                    

Seperti sebelumnya, beberapa siswi memilih untuk menjeda kegiatan mereka hanya untuk melihat Jarvis melepas helm. Dan saat pemuda itu mengacak-acak rambutnya, napas mereka tertahan, terpesona. Saat Jarvis mengedarkan pandangan dan menebar senyumnya, luluh lantak sudah pertahanan semua orang yang memperhatikan.

Bagaimana mungkin ada manusia sesempurna Jarvis? Bahu lebarnya mampu membuat semua anak gadis bermimpi bisa bersandar padanya. Pipinya yang mengembang membuat siapa saja ingin mencubit karena gemas. Dan lihatlah cara dia berjalan, siapa saja mau mendampinginya sembari bergandengan tangan.

“Hai,” sapa Jarvis pada seseorang yang melewati area parkir.

Angan semua orang terhenti. Sambil mencibir gadis yang disapa Jarvis, mereka kembali melanjutkan aktivitas.

“Kaki lo gimana? Enggak kenapa-kenapa? Atau ada luka parah?” lanjut pemuda itu.

Kania hanya melirik Jarvis sekilas. Ia tidak berhenti hanya untuk bicara baik-baik dengan lelaki itu. “Gak apa-apa,” singkatnya.

“Kemarin gue nyariin lo, pengen pastiin keadaan lo. Tapi, lo enggak kelihatan lagi di kantin.” Jarvis terus bicara. Dia juga berusaha menyamakan langkahnya dengan Kania. “Lo kelas berapa? Bisa minta nomor HP lo? Takutnya nanti ada keluhan di kaki lo, jadi gue bisa tanggung jawab.”

“Gue baik-baik aja. Jadi, lo gak perlu bertanggung jawab apa-apa.”

“Tetep aja. Gue gak akan tenang kalau gak denger keadaan lo dari dokter langsung. Pulang sekolah nanti kita ke rumah sakit, ya? Kalau lo gak ada kegiatan lain, gue tunggu lo di—”

Satu detik setelah Kania menghentikan langkahnya, Jarvis juga melakukan hal yang sama. Dia tetap melemparkan senyum tipis meski mendapat tatapan tidak bersahabat dari gadis itu.

“Lo gak akan bisa bodohi gue. Jadi, berhenti bersikap kayak gini.”

Jarvis mengernyit mendengar penuturan itu. “Maksud lo?”

“Gue gak tertarik sama permainan lo.”

Lantas Jarvis menunduk. Dia mendengkus. “Permaianan apa maksud lo? Gue sama sekali gak paham. Dan kenapa dari kemarin lo terus bilang kalau gue gak bisa membodohi lo? Maksudnya apa, coba? Gue enggak lagi berusaha membodohi siapa pun atau melakukan permainan apa pun.” Kepala Jarvis terangkat. Matanya menatap netra Kania dengan penuh percaya diri. “Gue khawatir sama lo. Dan gue cuma mau bertanggung jawab atas kejadian kemarin.”

“Atas dasar apa lo mau tanggung jawab sama gue? Temen lo bilang, bukan lo pelakunya, tapi cewek lo. Itu juga gak sengaja.” Kania mengangkat alis kanannya. Senyum miring membuat wajah datarnya lebih berekspresi. “Cewek lo aja cuma minta maaf. Kenapa lo perlu repot kejar gue dan paksa gue ke rumah sakit?”

“Gue cuma kha—”

“Gue bilang, gue gak apa-apa. Lo ngerti bahasa Indonesia, kan?”

Karena semakin kesal dengan perilaku Jarvis, Kania tidak sadar telah menaikkan nada bicaranya. Dan itu berhasil membuat beberapa pasang mata melirik ke arah mereka. Beberapa siswa tampak berbisik, saling menebak apa yang tengah dibicarakan Jarvis dan Kania.

“Gue baik-baik aja. Jadi, berhenti jadi peganggu dan menjauh dari hidup gue,” tegas Kania, penuh penekanan dalam setiap katanya. Setelah itu, dia melanjutkan langkah menuju kelas, membelah keramaian yang mulai menggunjingnya.

Sedangkan Jarvis masih setia berdiri di sana. Jujur, dia kaget dengan sikap tak acuh Kania ini. Dia sudah biasa diagungkan dan mendapatkan perhatian semua orang. Namun, rupanya semua yang dimiliki Jarvis tidak cukup membuat gadis itu bersikap manis padanya.

Perhatian Jarvis tertuju pada cara berjalan Kania yang normal. Sangat tidak normal untuk seseorang yang kemarin siang tersiram air panas. Tidak ada ekspresi kesakitan atau pincang sama sekali. Kania benar-benar baik-baik saja.

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang