17. By Your Side

1.6K 319 75
                                    

Entahlah. Jangan tanya apa yang Jarvis inginkan, apa yang ia rasakan. Jelas-jelas kemarin dia yang menjauhi Kania. Bahkan, dengan tegas ia meminta jarak untuk beberapa saat. Namun, hari ini dia yang kelimpungan mencari gadis itu.

Setengah jam Jarvis terdiam di koridor depan kelas, untuk memastikan Kania datang sebelum bel berbunyi. Namun, sampai Pak Yoga datang pun, Jarvis tidak melihatnya. Dan saat ini, meja yang biasa ditempati gadis itu juga kosong. Berulang kali Jarvis mengintip room chat dengan Kania, terakhir kali dia aktif adalah kemarin sore.

“Jar, kenapa, sih?” Tian menepuk bahu Jarvis. “Dari tadi gue perhatiin, lo kayak yang gak fokus. Ada masalah, ya? Sini, cerita aja sama kita.”

Jarvis langsung menyimpan ponselnya ke saku celana. “Gak apa-apa. Gak ada masalah apa-apa, kok,” kilah Jarvis seraya memaksakan senyumnya.

“Gak ada masalah gimana? Jelas-jelas dari tadi lo lirik ke sana mulu.” Caca menunjuk meja kantin yang kosong. “Kenapa? Lo kepikiran Kania?”

“Bukannya lo sama dia baru jadian, ya? Kok, sekarang malah jauhan kayak gini, Jar?” Irfan ikut menyuarakan pertanyaannya.

Lelaki itu tersenyum simpul. Setelah menatap teman-temannya satu per satu Jarvis pun menjawab, “Iya, kita baru jadian. Tapi, ada sesuatu yang mengharuskan kita jaga jarak dulu. Kalau hal itu udah beres, kita bakal kayak biasa lagi.”

“Sesuatu apaan, sih? Gue gak ngerti,” cetus Tian, lengkap dengan wajah bodohnya.

Tanpa ampun, Caca menoyor kepala Tian. “Itu privacy, gak usah tanya lebih lanjut. Lo gak pengertian banget.” Kemudian dia beralih pada Jarvis. “Gak apa-apa, lo gak perlu cerita semuanya secara gamblang. Kita tahu, hubungan lo sama Kania itu urusan pribadi.”

Thanks, Ca,” singkat Jarvis.

“Tapi, gue masih gak paham gimana bisa lo bisa sama dia, Jar. Waktu kejadian minuman lo tumpah itu kalian belum saling kenal, kan? Dari sana, kalian deket, nempel mulu. Eh, sekarang kalian udah jadian aja. Gue gak paham kenapa prosesnya cepet banget. Gue aja butuh waktu 3 bulan buat yakin jadian sama cewek,” ucap Irfan, panjang lebar.

“Bener banget apa yang diomongin Irfan,” timpal Caca, penuh semangat. “Dan yang bikin gue makin gak paham, dari sekian banyaknya cewek yang naksir sama lo, kenapa Kania yang lo kejar? Dia emang cantik, sih. Tapi, banyak yang lebih baik, lebih anggun, lebih cocok untuk jadi pacar lo. Tapi, kenapa harus Kania?”

Kenapa harus Kania?

Kemarin Deswita, sekarang Caca. Orang-orang senang sekali menanyakan alasan atas sebuah kejadian yang sudah menjadi takdir. Bahkan, banyak dari mereka yang beranggapan bahwa hal itu seharusnya tidak terjadi. Padahal, mereka tidak tahu cerita lengkapnya bagaimana.

“Karena Kania bisa terima gue apa adanya,” jawab Jarvis dengan penuh keyakinan. Dia juga berani menatap wajah temannya satu per satu. “Waktu bareng dia, gue gak perlu menutupi apa pun. Dia terima lebih dan kurangnya gue. Dia gak paksa gue untuk jadi begini atau begitu. Kania bikin gue nyaman sama diri sendiri. That's why i choosed her.”

Ketiga teman Jarvis hanya bisa saling memandang. Sungguh, mereka sama sekali tidak menyangka jawaban Jarvis akan sedalam ini. Dan mereka sama sekali tidak menyangka bahwa sosok Kania—gadis yang terkenal selalu memasang wajah jutek dan tidak kenal sopan santun—sangat mampu memberi kenyamanan sebesar itu untuk Jarvis.

“Ternyata, lo bisa jadi bucin juga, Jar. Kirain gue, lo orang yang sangat menjunjung logika dan realita,” ucap Tian, masih dengan ekspresi terpesona.

“Gue sama sekali gak berekspektasi jawaban lo akan sepuitis itu. Kalau gue cewek, gue udah mleyot dengernya, Jar.” Irfan memegang dadanya, menambah kesan dramatis.

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang