8. Being Ourselves

1.9K 339 64
                                    

Kania tahu, mengikuti kemauan Jarvis sama dengan menyerahkan diri untuk dijadikan daging cincang. Dia juga tahu bahwa menerima tawaran Jarvis untuk diantar pulang akan membuat Deswita semakin marah.

Maka dari itu, saat melihat gadis itu menatapnya tajam di ujung area parkir, Kania langsung naik ke sportbike hitam Jarvis dan berpegangan ke ujung jaketnya. Tidak peduli besok akan ada pembahasan baru mengenai dirinya, yang diinginkan Kania hanya memberi tahu bahwa Deswita kalah.

Dan seperti yang Kania kira, ia tidak dibawa ke rumahnya. Melainkan ke Gardenia Recidence, salah satu apartemen mewah di Jakarta Barat sekaligus tempat tinggal Jarvis. Begitu pintu lift terbuka, Kania segera ikut melangkah dan masuk ke unit 510. Aroma mint langsung menyeruak ke indra penciumannya.

Gadis itu melangkah ke dekat jendela, memperhatikan kesibukan di Jalan Tanjung Duren Raya dengan wajah datar. Ia sama sekali tidak mempedulikan sinar matahari yang mengenai wajahnya secara langsung. Karena bagaimanapun juga, Kania tidak bisa merasakan panas.

"Lo punya dendam tersendiri sama Deswita?" tanya Jarvis. Dia memberikan minuman kaleng pada gadis di hadapannya.

Tanpa pikir panjang, Kania menerima minuman itu. Dari permukaan kaleng yang mengembun, Kania yakin itu minuman dingin. "Gue gak tahu," jawabnya.

"Berarti emang ada. Kalau emang gak ada, lo akan jawab dengan pasti dan penuh percaya diri. Lo gak ada dendam sama Deswita." Jarvis membuka minuman itu dan menenggaknya dengan penuh nikmat. "Dendam kenapa?"

Kania hanya melirik pemuda itu sekilas, mengangkat bahunya santai, lalu ikut meminum jamuan dari Jarvis. "Orang tua lo mana? Seenggaknya, gue harus sapa mereka."

"Gak ada." Jarvis mengalihkan tatapan dari Kania, ikut memperhatikan ruas jalan ibu kota yang sibuk. "Nyokap gue di Kanada. Mungkin? Yang gue dengar seminggu yang lalu, dia ada project di sana. Dan bokap ... gue gak punya. Gue gak tahu dia masih hidup atau enggak. Gue berharapnya dia udah dijemput malaikat, sih."

"Kenapa?" Tanpa disadari, pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir Kania.

"A monster was definitely born from monsters too, right?" Jarvis menyesap minumannya lagi. "Jadi, gak usah sok-sokan mau sapa orang tua gue segala. Di sini cuma ada kita berdua. Just be yourself."

Kania menunduk dan memperhatikan cairan embun di tangannya yang mulai merembes. "Just be yourself. Kenapa susah banget jadi diri sendiri buat manusia kayak kita, ya? Padahal, apa yang terjadi sama kita bukan apa yang kita inginkan. Kita cuma gak dikasih pilihan untuk hidup kayak orang pada umumnya."

Jelas mengidap CIPA bukanlah keinginan Kania. Dia juga penasaran bagaimana rasanya dingin dan panas, rasanya sakit saat berdarah, juga rasanya berkeringat setelah berolahraga.

Dia penasaran sesakit apa terjatuh dari ayunan yang membuat Bagas menangis saat masih SMP. Dia penasaran sesakit apa kram perut saat menstruasi sampai teman sekelasnya tidak sanggup sekolah. Dia penasaran rasa sakit yang seharusnya diterima saat kepalanya tertimpa pot kemarin.

And shut up your mouth, who said this weakness as a super power!

Kalian tidak tahu sekeras apa perjuangan Kania untuk bisa bertahan sampai usia 17 tahun ini. Dari kecil, dia harus sering berkonsultasi dengan dokter supaya tidak melukai diri sendiri. Dia harus melawan maut tiap kali mengalami demam tinggi. Dia juga bisa tiba-tiba pingsan saat virus tertentu masuk karena tubuh tidak memberi sinyal sebelumnya.

"Orang pada umumnya juga gak bisa jadi diri sendiri. Gue yakin, mereka juga banyak berpura-pura," timpal Jarvis, setelah sekian lama diam. "Gue yakin, mereka juga sedang menjalani kehidupan yang gak mereka inginkan."

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang