Kania tahu, dia akan menjadi bahan gunjingan jika ke sekolah dengan kepala yang masih diperban. Dia akan dipandang aneh karena masih bisa berjalan penuh ketenangan padahal kemarin siang kepalanya bocor. Sisa tanah dari pot yang jatuh saja masih ada di depan gedung kelas 12, tetapi Kania sudah sangat siap mengikuti kegiatan belajar mengajar.
Dia tidak akan peduli—dan tidak akan pernah mau—dengan apa pun yang orang lain katakan tentangnya. Yang Kania inginkan hanya menjalani hidup sebagaimana mestinya, fokus pada arah dan posisinya. Selama apa yang mereka katakan tidak merugikan Kania secara fisik dan materi, dia tidak akan pernah peduli dengan gunjingan orang lain.
“Eh, itu cewek yang kemarin, kan? Dia udah bisa sekolah?”
“Darah di perbannya aja masih basah, emang gak apa-apa dia ikut belajar?”
“Kok, dia aneh, ya? Kayak gak kenapa-kenapa. Padahal jelas-jelas gue lihat sendiri darah dari kepalanya banyak banget kemarin.”
“Sikap dia yang tenang banget kayak gitu jadi agak nyeremin juga. Dia normal, kan?”
Masih ada banyak lagi pertanyaan tentang kedatangan Kania ke sekolah pagi itu. Ada banyak pasang mata yang terus memperhatikannya, mulai dari melewati gerbang sampai masuk kelas. Teman sekelasnya pun—biasanya sama sekali tidak peduli—memperhatikan Kania dengan atensi penuh.
“Gue denger-denger, dia ditolongin sama Kak Jarvis. Emang bener?” Salah satu dari mereka memulai pembicaraan tentang Kania.
Yang lainnya mengangguk penuh semangat. “Gue lihat sendiri Kak Jarvis gendong dia sambil lari-lari. Bahkan, Kak Jarvis kayak yang gak peduli seragamnya kotor gara-gara darah dia.”
“Emang, sih, Kak Jarvis itu baik, suka menolong orang lain. Tapi, kenapa sama si Kania gue merasa berlebihan, ya? Kayak ada sesuatu aja di antara mereka.”
“Terus, gue juga denger kalau Kania kayak yang gak kesakitan sama sekali padahal darah dia keluar banyak. Dia itu kayak ....”
“Kayak apa?”
“Psikopat.”
Tidak ada satu kata pun yang Kania lewatkan dari pembicaraan mereka. Apalagi kata yang terakhir, sampai dengan baik di telinganya. Dan gadis itu hanya bisa membuang napas pelan, memakai headphone, dan memutar musik klasik dengan volume maksimal. Tidak akan ada habisnya jika mendengar semua gunjingan.
Sembari menatap pancaran sinar matahari yang menyelinap di sela jendela, ingatan Kania berputar ke kejadian kemarin siang.
“Jadi, apa yang terjadi sama cewek itu? Dia selamat?”
Dugaan Kania benar. Jarvis adalah laki-laki yang mengenakan hoodie abu-abu malam itu. Dia adalah laki-laki gila yang memilih jadi penonton adegan pelecehan tanpa ada niat untuk membantu sama sekali. Sejak mendengar suara Jarvis di kantin siang itu, Kania bisa langsung menebak bahwa dia yang berdiri dalam kegelapan malam tanpa alasan jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
Fiksi UmumJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...