39. Break

5.1K 279 26
                                    

Tepat jam istirahat, semua rekan kerja Arkan kembali ke kantor masing-masing. Sedangkan, Jovanka kembali ke rumahnya karena tidak ada pemotretan hari ini.

Arkan menghembuskan nafasnya lega, ia berjalan menuju kamarnya setelah beberapa menit duduk di sofa. Setelah kejadian di ruang kerjanya, ia belum melihat Viola, bahkan Kefi yang menjadi samsak mendadaknya juga hilang.

Cklek

"Itu dia Papa!" Seru Viola sambil mengangkat Raka yang sedang memegang mobil mainan di kedua tangannya.

"Hai sayang," sapa Arkan pada Viola dan Raka dan mencium ubun-ubun keduanya.

"Raka udah makan?" Tanya Arkan pada Viola yang sedang bermain dengan Raka.

"Udah, tadi di bawain bibi," Viola menoleh sebentar pada Arkan.

"Sini," panggil Arkan dan dituruti oleh Viola setelah memastikan Raka aman.

"Maaf ya buat yang tadi," Arkan merebahkan dirinya dengan berbantal paha Viola.

"Gapapa," Viola tersenyum sambil mengusap rambut Arkan.

"Bicara apa tadi?" Tanya Viola penasaran, Arkan yang tadi memejamkan matanya, kembali membuka matanya.

"Dia ngaku hamil anak aku," ujar Arkan pelan.

"Minta pertanggungjawaban?" Viola bertanya sambil menatap manik mata Arkan lekat.

"Iya,"

"Yaudah nikahin," kata Viola sambil tersenyum.

Arkan menatap tak percaya Viola, gampang sekali mulut kecil itu menyuruhnya untuk menikah dengan wanita lain. Jangan-jangan sudah ada pria lain yang memikat hati Viola? Lebih muda darinya? Lebih tampan? Lebih kaya? Duh, Arkan kok jadi overthinking.

"Kamu punya cowo baru?" Tanya Arkan dengan mata yang memicing tajam.

"Iya," jawab Viola sambil tersenyum tipis.

Arkan mendudukkan dirinya, menatap tak percaya Viola, bilang kalau Viola hanya bercanda.

"Cari kebenaran dulu tentang Jovanka, selesaikan urusan kalian. Nanti lamar aku lagi ya?" Viola berucap sangat tenang, matanya terus menatap manik mata Arkan.

Melepaskan cincin yang tersemat indah di jarinya, Viola memberikan cincin itu kepada Arkan. Namun pria itu tak kunjung menerimanya, dengan lembut Viola mengambil tangan Arkan, dan menaruh cincin itu pada telapak tangan Arkan.

"Engga, jangan gini," Arkan menggenggam erat tangan Viola.

"Kasih aku waktu,"

"Mau waktu berapa lama?" Viola mengusap tangan Arkan yang menggenggam salah satu tangannya.

"Satu bulan, cukup?" Viola melepaskan tangannya dari genggaman Arkan, membuat pria itu merasa kehilangan.

"Cukup," jawab Arkan.

"Bagus, selama satu bulan itu kamu gak boleh ketemu aku, kamu harus belajar jadi ayah yang baik buat Raka. Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan kantor dan masalah Jovanka, aku harap kamu gak keberatan sama permintaanku. Kalau keberatan, kamu gak perlu datang lagi untuk lamar aku."

Menatap hampa pada pintu kamarnya yang baru saja tertutup, Viola pergi. Mengacak rambutnya frustasi, Arkan menatap anaknya yang sedang asik mengigit mobil mainan kecil. Sadar diperhatikan, bayi itu menoleh menatap Arkan polos, mengerjapkan matanya gemas.

"Ma?" Raka merangkak menuju Arkan yang duduk di tepi kasur.

"Papa," Arkan mengendong Raka dan berjalan keluar kamar. Berharap Viola masih belum keluar dari rumahnya, tepat saat akan menuruni tangga suara Kefi menghentikan langkah Arkan.

ARKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang