Tujuh

46.6K 2.9K 6
                                    


"Mama berharap semoga secepatnya kamu hamil ya Sayang, Mama udah nggak sabar untuk gendong cucu lagi," ucap Rina sembari mengusap bahu Alia.

Mereka sedang ada di ruang keluarga. Usai Rina dengan sengaja menerobos masuk ke kamar Arga dan Alia tadi, dan keluar lagi karena sadar jika menantunya merasa malu. Mereka di perintahkan oleh Rina untuk berkumpul di ruang keluarga.

"Aaminn, makanya Mama jangan bosen buat doain dong Ma. Biar Alia bisa cepet hamil," jawab Arga yang duduk di atas karpet tebal sambil menonton salah sat acara televisi.

Jawaban Arga membuat Alia tersenyum getir dan menghela kasar dengan samar, tentu saja agar Rina tidak mengetahuinya.
Lagian Arga, kalau di depan Rina gini bisa saja bilang seperti itu.

Bagaimana ia akan hamil jika segelnya saja belum di lepas alias masih perawan. Kan enggak mungkin anak masih perawan bisa hamil. Hanya satu wanita saja yang seperti itu dan tidak akan ada lagi. Yakni Maryam binti Imran ibunda Nabi Isa as.

"Tentu Ga, Mama selalu berdoa untuk kalian dan keluarga kalian supaya terus harmonis dan bahagia," ucap Rina sambil tersenyum senyum dan menatap sang menantu.

Alia ikut mengaminkan dengan serius di dalam hati. Sangat serius malah. Ikut tersenyum dan menatap balik Rina. Selama ia menikah dengan Arga, memang Rina selalu berhasil membuat Alia tersenyum karena perlakuan manis Rina yang sangat jelas terlihat tulus padanya.

"Aaminn, Rara juga udah pingin punya adik Oma, terus nanti Rara yang jagain adek dan Rara akan ajak adek maen setiap hari. Belajar juga, biar pinter," ujar Rara yang tiba-tiba datang dan langsung duduk di samping Rina.

Rina dengan senang hati langsung meraih tubuh Rara untuk ia peluk. Ia sangat menyayangi anak ini. Tapi ia selalu berharap jika ia bisa segera menggendong cucu dari Alia yang benar-benar anak Arga.

"Oma, Rara mau duduk sama Mama boleh? Di pangku Mama," kata Rara dengan wajah menengadah pada sang oma. Rina tersenyum.

"Rara kan udah besar, jadi nggak boleh sering minta dipangku sama Mama ya. Kasian Mamanya," cetus Arga yang kini bersandar pada kedua kaki Alia.

Pandai sekali lelaki ini mencari muka manis di hadapan Rina. Tapi itu yang membuat Alia kesal pada dirinya sendiri di mana ia selalu terbawa perasaan saat diperlakukan lebih atau manis oleh Arga, ya seperti saat ini.

"Yah, terus kenapa Papa boleh sandaran di kaki Mama? Kan itu juga bisa buat Mama pegal nanti," protes Rara juga.

Memang Rara itu anak yang pinter. Seolah tidak terima sang papa melarangnya untuk duduk di pangkuan Alia.

Rina dan Alia tersenyum dan sama-sama kaget dengan protesan Rara.

"Ya kalau nanti kaki Mama pegel, papa yang bakal mijit pas udah mau tidur,"
jawab Arga lagi.

"Rara juga bisa kok bantuin buat mijit kaki Mama nanti. Iya kan Ma?" tanya Rara sembari menatap pada Alia seolah meminta persetujuan.

Alia tersenyum dan mengangguk, ia raih tangan Rara untuk lebih dekat dengannya dan membawa tubuh gempal Rara mendekatinya.

"Udah ah jangan ribut terus sama Papa, sini Rara biar Mama pangku Nak," ujar Alia dan secara otomatis Arga melepaskan lingkaran tangannya pada kedua betis Alia.

Rara tersenyum senang sangat langsung duduk di pangkuan Alia dengan nyaman.

"Yeyy, tuh Pa. Mama aja boleh kok Rara duduk sini," kata Rara sambil menjulurkan lidahnya pada Arga. Arga balas dengan mengelus rambut hitam legam milik Rara.

"Iya tapi jangan lama-lama ya, kasian Mamanya kalo sampe pegel," ujar Arga.

Entah sadar atau tidak ia telah memberi perhatian pada Alia yang membuat gadis itu langsung tersenyum. Iya semakin yakin jika dirinya lambat laun bisa membuat Arga jatuh cinta padanya.

"Mama nanti mau jalan-jalan, Rara mau ikut nggak?" tanya Alia sambil mengelus poni Rara, sontak gadis kecil itu menatapnya dengan wajah yang berbinar.

"Mau Ma Rara mau, Rara ganti baju dulu biar cantik," ucap gadis kecil itu dengan suara yang melengking dan segera turun dari pangkuan Alia.

Langsung berlari kecil menuju kamarnya, membuat Rina, Alia dan juga Arga tersenyum sambil menggelengkan kepada masing-masing.

"Yaudah Ma, Alia ganti baju juga ya. Kasian kalo nanti Rara nunggu lama," pamit Alia pada Rina. Dan diangguki wanita paruh baya itu.

"Iya Sayang," jawab Rina sembari tersenyum dan menatap punggungnya. Arga ikut bangun dari duduknya dan tanpa bicara apapun ia menyusul Alia menaiki tangga menuju kamarnya.

"Huh dasar pasangan muda, pinginnya nempel terus padahal tadi juga habis kepergok," gumam Rina sembari menggeleng kepalanya.

Sesampainya di kamar, baru saja Alia selesai ganti baju dan bersiap ingin memakai make up tapi tangannya langsung dicekal oleh Arga.

"Loh, ada apa Mas?" tanyanya lembut,

"Kamu mau kemana sih sebenarnya? Mau jalan-jalan atau ada tujuan lain buat keluar rumah?" sentak Arga terdengar ketus. Alia mengerutkan dahinya.

"Maksud Mas Arga?"

"Ya siapa tau aja kalo kamu cuma alasan aja keluar rumah buat jalan-jalan sama Rara, padahal sebenarnya kamu mau ketemu sama pacar kamu tadi,"

ucap Arga dengan ketus sambil melepaskan pergelangan tangan Alia. Pria itu berjalan gontai kearah ranjang dan duduk di sana sambil terus memperhatikan Alia. Alia jadi gugup sendiri di pandangi begitu oleh Arga.

"Nathan cuma teman biasa aku aja kok Mas, dia bukan pacar aku. Dan ini juga aku emang mau ajak Rara ke mall karena ada yang aku mau cari. Mas jangan khawatir, aku nggak akan mengotori pernikahan kita dengan menghadirkan orang lain di tengah-tengahnya," jelas Alia dengan mata yang berkaca-kaca.

"Lagian kalo Mas Arga nggak kasih izin buat aku pergi, aku nggak akan pergi kok. Aku ngikut apa kata suamiku," lanjut Alia.

Arga terdiam dan memasang wajah cuek tidak depan Alia. Tapi di dalam hati pria itu kini sedang tersenyum senang.

"Oke, kalau gitu aku nggak izinkan kamu untuk pergi hari ini walaupun sama Rara," tegasnya. Ia lihat Alia tersenyum dan mengangguk.

"Yaudah kalo gitu aku mau keluar kamar. Biar ajak Rara main di taman belakang aja," ucap Alia sambil membuka pintu dan keluar dari kamarnya.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang