Dua Puluh Lima

25.3K 1.3K 3
                                    

Arga tersenyum dalam hati melihat perhatian Alia padanya. Ternyata asik juga mengerjai istrinya itu. Ia tidak benar-benar marah tadi.

"Arrrggghhh."

Handphone yang Arga pegang hampir saja terjatuh mendengar suara teriakan dari dalam rumah. Suara teriakan seorang wanita menggema di telinga Arga. Ayo lah, jangan mempengaruhi Arga jika itu suara wanita dari dimensi yang berbeda.

Memang ini sudah malam bahkan sudah jam setengah dua belas, dan sebentar lagi menuju jam dua belas. Jam yang banyak dipercaya banyak orang jika makhluk astral sedang bermain di dimensi kita. Ah tapi Arga bukan tipe orang yang percaya pada hal yang seperti itu, meski percaya pada hal gaib itu merupakan suatu keharusan.

"Suara siapa ya?" gumamnya pelan.

Arga mematikan handphonenya dan melangkah memasuki rumah. Arga melangkah mengikuti arahan hatinya menuju dapur dan betapa terkejutnya ia melihat Alia yang terduduk di lantai dengan wajah meringisnya. Tangan wanita itu memegang telapak kaki putihnya yang bersimbah cairan merah.

"Alia," pekiknya dan membungkukkan badannya di dekat kaki Alia. Wanita itu mendongak.

"Mas," ucapnya tertahan sembari menahan sakit.

"Ini ken- ... ya ampun serpihan kacanya masih ada. Kamu tahan bentar aku coba ambil Dear," pekik Arga lagi melihat belahan kaca yang masih tertancap di kaki sang istri.

Meski sakit dan sebisa mungkin menahan ringisan Arga mencabut benda tajam itu dari kaki Alia.

"Sakit Mas," rintih Alia yang hampir tidak didengar Arga.

Arga mengangkat tubuh Alia dan mendudukkannya di atas kursi meja makan. Selanjutnya pria itu mengambil kotak P3K yang terletak di lemari dekat kulkas. Mengobati luka Alia sebelum membalut dengan perban. Setelahnya baru pria itu mengambil kain pel dan membersihkan lantai bekas cairan merah dari kaki Alia sampai bersih.

"Kita ke kamar," kata Arga,

menggendong tubuh Alia. Alia mengalungkan tangannya pada leher Arga.
Alia memperhatikan wajah Arga yang kembali dingin padanya. Sejak pria itu membersihkan dan membalut lukanya tadi pun mulutnya ia itu terkunci alias tidak berbicara. Arga melakukannya dalam diam.

"Mau sampe kapan kaya gini?" ujar Arga datar.

Alia terkesiap saat merasakan tubuhnya sudah berada di kasur empuk dengan tangan masih melingkar di leher Arga. Tubuh pria itu membungkuk. Alia melepaskan tangannya dan menunduk. Tanpa kata Arga menyelimuti tubuhnya sampai batas pinggang.

Arga memasuki kamar mandi dengan Alia yang tidak pernah lepas menatapnya. Air mata Alia jatuh lagi, tadi ia pikir dengan Arga menerima ia membuatkan kopi untuk pria itu maka Arga akan luluh tapi ternyata dengan kejadian tadi malah Arga semakin menunjukan sikap dinginnya.

"Hobi kamu sekarang bengong ya, udah malam tidur Alia," kata Arga yang entah kapan keluar dari kamar mandi. Pria itu bahkan sudah duduk di tempat tidur bersama Alia.

"Mas-"

"Tidur," potong Arga membuat Alia menggigit bibirnya.

Matanya memerah dan berkaca-kaca bukan karena rasa kantuk tapi karena sikap Arga padanya. Alia membaringkan tubuhnya membelakangi Arga. Bukan ingin tidur tapi ia ingin melanjutkan tangisnya lagi.

"Kenapa nangis? Aku suruh tidur bukan nangis," suara Arga terdengar sangat ketus padahal pria itu sudah menutup mata, Alia pikir Arga sudah nyenyak tapi ternyata belum.

"Kalo Mas nggak mau dengar ya udah Mas tidur di luar aja," kata Alia dengan sesekali menahan isakan yang semakin bertambah.

"Mas nggak tau sih gimana rasanya nahan sesak karena enggak dapat pelukan suami," ujar Alia lagi yang sukses membuat Arga membuka matanya.

Pria itu menghela kasar bangun dari tidurnya sebelum menggeser tubuh semakin mendekat pada Alia. Menarik sedikit bahu Alia agar wanita itu terlentang. Arga menopang kepalanya dengan telapak tangan yang bertumpu pada sikut. 

Tangannya yang sebelah kiri bergerak mengusap pipi putih Alia dan menempelkan bibirnya tepat pada kening Alia. Sedikit terkekeh melihat wanitanya yang menahan nafas padahal ini bukan pertama kalinya mereka berada dalam posisi yang seperti ini.

"Nafas Dear," katanya.

Alia membulatkan mata dan memukul pelan dadanya. Tangan kekar Arga dengan gerakan cepat menangkap tangan mungil milik Alia dan menggenggamnya lembut.
Matanya menatap intens manik mata Alia, mereka saling tukar pandang hingga tidak terasa Arga semakin mendekatkan wajahnya dan meraup bibir Alia dengan lembut. Hanya bermain dengan bibir Alia saja Arga sudah merasa dirinya semakin tenang.

Arga baru melepaskan bibirnya saat merasakan Alia yang kehabisan oksigen, bukan Alia saja tapi dirinya juga. Kekehannya semakin terdengar jelas lala melihat Alia yang terengah-enggah. Tangannya beralih merapikan sedikit poni Alia yang berantakan.

"Kangen tau Dear," katanya mengusap pipi Alia lembut.

Bibir Alia tersenyum dan mengalungkan lagi tangannya pada leher Arga.

"Kangen tapi Mas gengsinya dibesarin. Aku takut Mas marah tadi. Maaf ya Mas," ucap Alia dengan sebelah tangan beralih mengusap pipi dan rahang milik Arga, ralat miliknya. Bukankah suami Istri saling memiliki?

"Ngapain minta maaf kamu enggak salah, aku yang minta maaf karena udah buat kamu sedih. Dan kaki kamu sampai kena belahan kaca gitu pasti tadi kamu enggak fokus kan pas buatin aku kopi," ujar Arga lembut, kini keduanya saling memegang dan mengusap pipi pasangan.

"Kalo Mas tau aku bakalan sedih terus kenapa Mas malah cuekin aku? Aku jadi serba salah tau nggak Mas," ujar Alia kali ini dengan suara manjanya.

Arga mengecup tangan Alia yang ada di pipinya.

"Cuma ngetes kamu aja, mau lihat gimana usaha kamu untuk bujuk aku," jawab Arga enteng.

"Dan ternyata aku sendiri yang malah tersiksa karena nahan kangen," lanjutnya.

Alia tidak bisa untuk menahan senyuman di bibirnya. Ucapan Arga saja bisa membuat perutnya seolah di huni oleh banyak kupu-kupu yang beterbangan.

"Terus aku berhasil nggak?"

"Berhasil buat aku jantungan sekaligus takut. Aku takut kamu kenapa napa Dear."

Wajah cemas Arga sangat jelas terlihat tulus untuknya. Alia tersenyum dan mengambil tangan Arga membawanya kebibir dan mengecup tangan kekar yang biasanya digunakan untuk mengelus pipinya.

"Aku nggak papa kok Mas, lagian tadi aku nggak sengaja jatuhin gelas. Nggak usah khawatir ya. Aku mau tidur dan maunya dipeluk sama Mas." Arga mengecup hidung Alia lantaran merasa gemas.

"Besok aku harus ketemu Risa," batin salah satu dari mereka bersuara.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang