Dua Puluh Empat

24.5K 1.4K 3
                                    


"Kamu udah cukup buat aku Al, aku nggak butuh wanita yang seperti apa pun karena udah ada kamu. Aku butuh waktu untuk menata hati dan pikiran aku hanya untuk meyakinkan perasaan cinta yang ada untuk kamu dan ternyata itu sangat besar, setelah aku tau jika perasaan aku ke kamu mungkin melebihi rasa kamu ke aku, untuk apa aku cari wanita lain?" ujar Arga mengusap pipi Alia.

Matanya tidak lepas dari mata sang istri. Ia tidak ingin Alia tidak percaya debgan rasa cintanya.

"Mas, bukannya aku ragu sama rasa cinta Mas tapi sekuat apapun aku mencoba untuk nggak takut aku tetap aja nggak bisa Mas," ujar Alia. Ia juga menatap pada Arga yang menghela nafas kasar.

"Sebisa aku, aku akan jaga cinta ini cuma untuk kamu Al. Terserah kamu mau percaya atau enggak," kata Arga dengan wajah datarnya.

Ia raih kepala Alia dan mengecup kening Alia lembut.

"I love you more, Dear," ucap Arga, ia beranjak dari duduknya dan hendak keluar dari kamar di saat Alia sendiri baru membuka mata setelah merasakan kecupan sang suami terlepas dari keningnya.

"Mmm ... Mas," panggil Alia.

Lelaki itu membalikkan badannya saat tangganya sudah menggapai handle pintu.

"Mas Arga tunggu, Mas tolong jangan keluar ya, ak ... aku,"

"Aku mau ke rumah pak Lukman sebentar. Tadi dia nelpon," kata Arga lagi dan langsung keluar kamar tanpa meminta persetujuan Alia lagi.

Alia menatap lirih punggung Arga yang perlahan menghilang dari balik pintu.

"Mas Arga marah nggak ya? Salah gak sih aku bersikap kaya tadi. Wajar gak  kalau aku cemburu sama gadis yang suka bahkan mungkin cinta sama suami aku sendiri," tanya Alia pada dirinya sendiri.

Ia menghembuskan nafas lelah sembari membaringkan badannya pada tempat tidur. Mana bisa tidur jika keadaan hatinya tidak tenang seperti ini. Padahal baru saja Arga dengan manis mengucapkan kata cinta padanya.

Sudah lebih dari dua jam Arga pergi dari kamar Alia dan selama itu juga pikiran Alia tidak tenang. Ia kadang berjalan mengitari kamarnya dengan tidak bertujuan, hatinya gundah lantaran Arga belum kembali.

Ini sudah jam setengah sebelas malam. Apa Arga masih betah bertemu di rumah orang padahal mesin waktu menunjukan untuk anak manusia beristirahat.

"Mas Arga kok belum pulang ya, huh aku tunggu di luar aja deh," gumam Alia.

Wanita cantik dengan wajah cemas itu berjalan keluar kamar. Menuruni tangga dan mendapati Karin yang duduk di depan televisi sambil memainkan hpnya. Alia duduk di samping Karin dan terkekeh pelan saat Karin kaget dengan kehadirannya.

"Ya ampun Kak, kaget tau. Hobi lo kok sama sih sama Kak Arga, suka ngagetin gue," pekik Karin mengusap dadanya. Alia hanya tersenyum tipis.

"Karin, lo lihat Mas Arga nggak?" tanya Alia sembari menatap serius pada gadis itu. Karin memutar bola matanya layaknya sedang berpikir.

"Emm tadi kayaknya di depan deh Kak.   Lagi nelpon serius banget lagi," jawab Karin setelah ingat ia baru saja dari luar dan melihat Arga di sana.

"Kenapa? Pasti nggak bisa tidur ya karena nggak ada Mas suami?" ujar Karin dengan tatapan menggoda pada Alia. 

Wanita itu tidak menjawab, Alia hanya tersenyum tipis dan bangun dari duduknya. Melangkah keluar rumah.

Alia menghela lega melihat Arga berdiri dengan sebelah tangan yang menempelkan handphone pada telinganya.

Pria itu membelakangi pintu, Alia melangkah mendekati Arga dan berdiri di samping Arga. Bisa Alia dengar jika Arga tengah berbicara mengenai bisnis yang sama sekali tidak ia mengerti.

Alia menatap Arga dari samping. Memperhatikan wajah tampan suaminya meski hanya dari samping. Rahang tegas itu di tumbuhi rambut yang kadang membuat Alia merasa geli saat pipi atau bagian lehernya tersentuh oleh dagu dan rahang Arga. Apalagi pria itu suka menaruh dagu pada pundaknya. Dibalik rasa gali itu Alia merasa senang.

Matanya beralih pada seluruh wajah Arga dari samping. Benar-benar ia tidak pernah menyesal menikah dengan Arga yang kadar ketampanannya bak Dewa Yunani. Ya, meskipun ia mencintai Arga bukan dari fisik, tapi karena fisik itu juga Arga selalu jadi bahan perbincangan kaum hawa.

Sepertinya memang Alia harus menebalkan telinga dan menegarkan hatinya untuk mendengar pujian para kaum hawa terhadap suaminya.

"Kenapa malah keluar? Enggak tau dingin?"

Alia mengerjapkan matanya saat mendengar suara Arga. Terlalu larut dengan pikirannya mengenai ketampanan dan efek dari ketampanan suaminya itu membuatnya tidak sadar jika ternyata Arga telah selesai berbicara lewat telepon dengan rekan bisnisnya.

"Mas,"

"Masuk Alia, di sini dingin," titah Arga.

Alia hanya diam bahkan dengan sengaja bersandar dinding samping Arga.

"Mas Arga marah ya?" tanya Alia sambil membalas tatapan Arga. Arga menghela nafasnya.

"Aku suruh kamu masuk Alia, nanti aku nyusul setelah telpon rekan bisnis aku lagi," kata Arga yang sepertinya enggan menjawab pertanyaan Alia.

Alia menggigit bibirnya dan menggeleng.

"Aku mau tungguin Mas aja. Nggak papa kok piyama aku panjang," kata Alia dengan suara lembutnya.

"Masuk Alia," geram Arga, tapi wanita itu tetap menggeleng kekeh.

Menghembuskan nafasnya kasar Arga  duduk di kursi tanpa memperdulikan Alia lagi. Selanjutnya pria itu mengutak atik benda pipih yang ada di genggamannya itu dan mendekatkannya pada telinga kiri.

Alia tersenyum dan mendekati Arga, ia usap bahu pria itu dan dengan berani ia beri kecupan di sebelah pipi Arga.

"Mas, aku buatin kopi mau ya. Biar anget soalnya di sini dingin banget," ucap Alia berbisik.

Senyumnya semakin bertambah merekah melihat Arga yang mengangguk. Pria itu mengusap rambutnya pelan sebelum ia masuk ke dalam rumah.

Arga tersenyum dalam hati melihat perhatian Alia padanya. Ternyata asik juga mengerjai istrinya itu. Ia tidak benar-benar marah tadi.

"Arrrggghhh."

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang