Dua Puluh Enam

24.3K 1.3K 3
                                    



"Mas," Alia menahan perih saat telapak kakinya menapaki lantai keramik.

Lukanya memang kecil tapi cukup dalam. Arga menoleh mendapati Alia yang oleng dan hampir jatuh. Pria itu menegang pinggang sang istri dan membawanya kembali duduk di tempat tidur.

"Mau kemana sih Dear? Ke kamar mandi lagi?" tanya Arga membuat wanita cantik itu menggeleng.

Dengan bantuan Arga yang mengendongnya ke kamar mandi tadi Alia akhirnya rapi.

"Mau keluar Mas, pasti udah pada nungguin kan," jawab Alia.

"Panggil kan bisa biar aku gendong," kata Arga sembari merapikan poni Alia.

"Aku panggil tapi Mas enggak dengar asyik sama ponsel, emangnya ponsel Mas cantik ya sampe Mas tergugah gitu," sungut Alia pelan.

"Hem, enggak cantik sih tapi dengan ponsel ini aku bisa menghubungi wanita cantik,"

"Aku?" Alia menatap penasaran pada Arga.

Dahinya berkerut melihat suaminya itu menggeleng.

"Bukan, kalau kamu kan hubunginya lewat hati Dear,"

"Terus siapa? Mas barusan hubungi Mbak Erna? Katanya enggak cinta," todong Alia sartagis.

Wanita itu sedikit was-was dengan jawaban yang akan Arga katakan. Hatinya terasa tidak menerima jika nanti Arga membenarkan dugaannya meski ia tau Arga dan Erna masih berhubungan.

Tapi Alia berharap jika cinta Arga memang sudah berpaling padanya. Ia sudah terlanjur bahagia dengan pengakuan Arga. Tidak tau akan seperti apa dia nanti jika cintai pria itu terbagi.

"Ya emang enggak cinta, tadi aku habis hubungi Mama Dear, Mama kan wanita juga. Kamu pikir cuma kamu yang cantik?" ujar Arga.

Alia mengerucutkan bibirnya. Suaminya ini kalau lagi manis bisa melebihi manisnya madu tapi kalau lagi oleng seperti ini bisa seperti-

"Tapi cinta aku emang cuma buat kamu."

Alia menghentikan umpatan di hatinya saat mendengar Arga meneruskan ucapannya. Bibirnya seketika tersenyum. Tangannya bergerak melingkari lengan kanan Arga dan menyandarkan kepalanya di sana.

"Aku juga cinta banget sama Mas dan cuma ada Mas Arga di hati aku," katanya tulus.

Arga mengangguk dan mengecup keningnya lembut. Setelahnya Arga menyelipkan satu tangannya pada bawah lutut Alia dan sebelah tangannya lagi menahan punggung wanita itu. Refleks Alia melingkarkan tangannya pada leher Arga saat pria itu mulai melangkah.

"Pintunya Dear," instruksi Arga,

Dengan sigap Alia membuka pintu menggunakan sebelah tangan yang tidak ada di leher Arga.
Membiarkan pintu kamarnya terbuka lebar, Arga membawa tubuh langsing nan mungil Alia ke arah tangga untuk menuruni anak tangga.

Mereka tiba di ruang makan yang sudah dihuni eh Oma dan Karin serta Bik Imah, asisten rumah di sini memang selalu sarapan bersama mereka, itu atas permintaan Oma sendiri.

Kedua wanita beda usia itu terlihat menahan senyum melihat Arga yang menggendong Alia. Mereka pasti sudah berpikiran yang iya iya jika saja mata mereka tidak menuju pada perban yang membaluti telapak hingga punggung kaki Alia.

"Loh itu kaki Alia kenapa Ga, kamu ini bisa nggak sih jaga istri, atau kamu yang buat kaki Alia kaya gitu?" omel Oma langsung.

Alia yang mendengarkan langsung kicep ternyata Oma serem juga kalau lagi galak persis Arga ketika marah.

"Mas," cicit Alia pelan di telinga Arga.

Arga tersenyum dan mengecup pelipisnya lembut yang membuat Alia merona. Secara spontan wanita itu menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Arga. Karin dan Bik Imah terkekeh geli sementara Oma menatap bingung pada keduanya.

Arga menurunkan Alia dengan hati-hati di salah satu kursi kosong. Memasang wajah biasanya ia menarik kursi di sebelah Alia. Sementara Alia mati-matian menahan rasa malu ditatap dengan berbagai ekspresi oleh keluarga Arga ini.

"Jadi, kaki Kak Alia kenapa?" tanya Karin yang lebih dulu membuka suara mewakili Oma dan Bik Imah yang sedari tadi penasaran dengan kaki Alia tapi tertunda terjawab dengan pertunjukan romantis ala Arga dan Alia tadi yang bak pengantin baru.

"Kena pecahan gelas tadi malam,"  jawab Arga sembari menerima piring dari Alia yang sudah berisi nasi serta lauk pauknya.

Sudah menjadi kebiasaan di rumah ini jika sarapan harus dengan makan nasi, dan siang juga harus makan nasi apalagi malam. Pokoknya makan nasi tiga kali sehari itu sudah seperti kewajiban bak sholat wajib yang lima kali dalam sehari sebelumnya.

Itulah sebabnya Arga pun mengikuti kebiasaan sang Oma jika soal makanan. Bagi mereka jika belum makan yang namanya nasi maka artinya belum makan. Kalau hanya makan mie atau yang lain bagi mereka tidak lebih dari ngemil.

"Kok bisa? pasti Kak Arga yang nyuruh ambili minum ya?" tuduh Karin langsung sambil menyuapkan sesendok nasi pada mulutnya.

"Gak disuruh, Alia sendiri yang nawarin dan langsung pergi ke dapur," jawab Arga tanpa nada, datar.

"Kenapa enggak disusulin Ga, istri keluar kamar malem-malem kok dibiarin," sahut Oma lagi dan membuat Arga menghela kasar, usapan di pahanya membuat ia menoleh pada Alia dan mendapati senyuman sebagai obat dari rasa kesalnya itu.

"Em tadi malam Mas Arga nemenin kok Oma, tapi enggak ke dapur kan Mas Arga lagi bahas soal kerjaan sama temennya. Jadi ya, tanpa persetujuan Mas Arga, Alia langsung ke dapur," jawab Alia sambil tersenyum.

Yang ia katakan tidak sepenuhnya salah bukan, Arga menoleh padanya dan memberikan satu kecupan di pelipis wanita itu.
Oma mengangguk dan melanjutkan makanannya.

"Ih bisa nggak Kak, mesranya di kamar aja jangan di luar," cekutuk Karin sambil manatap malas pada Arga tapi menatap dengan kerlingan pada Alia. Otomatis mendapat balasan tatapan berbeda dari pasangan suami istri itu.

"Nggak bisa! Namanya udah halal ya harus mesra dong. Makanya cari pacar sana biar nggak iri liat gue," balas Arga membuat Karin membulatkan matanya.

"Enak aja,  gue enggak iri ya,"

"Terus apa? Pake larang gue mesra sama istri gue segala. Kalo gue nggak mesra kapan Oma punya cicit cob ... awww sakit Dear," teriak Arga sambil mengusap pahanya yang dicubit Alia.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang