Dua Puluh Delapan

21.2K 1.2K 0
                                    

"Aku jalan aja deh Mas, malu tau diliat banyak orang, mana ada Oma lagi," kata Alia yang ada di dalam gendongan Arga.

Mereka sudah tiba di  kebun teh milik sang Oma dan ternyata banyak orang yang tengah memetik daun teh. Suasana yang terik tidak menyusutkan para pekerja untuk melaksanakan tugasnya. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani teh.

Biasanya mereka akan melakukan pemeritikan daun teh secara bergantian dari satu kebun ke kebun yang lain, jadi tidak gaji kecuali mereka memetik teh tapi tidak punya kebun alias buruh maka mereka akan diberi gaji sesuai peraturan.

"Ya biarin lah Dear, lagian gimana mereka nggak lihat ke kita orang aku lagi gendong bidadari," ucap Arga dengan wajah biasanya.

Tapi setiap kata yang terlontar dari bibir Arga tadi terdengar begitu manis di telinga Alia.

"Loh kalian datang ke sini juga?"  kata Oma yang datang menghampiri mereka.

"Yuk duduk di sana," ajak Oma sembari berlajan duluan menuju sebuah rumah kebun yang tidak ada dinding jadi hanya ada atap dan kursi kayu yang di buat untuk tempat duduk dan di rumah itu dibuat tempat untuk gelar tikar. Para pekerja biasanya makan siang di sana.

Arga mendudukkan Alia di salah satu kursi kayu itu. Lalu ia duduk di sebelah Alia.

"Ini tempat favorit Arga dulu pas masih sekolah di sini. Kalo ada pr pasti dia kerjainnya di sini," ujar Oma pada Alia yang memandang indahnya daun teh ini.

Wanita cantik itu menoleh pada Oma lalu pada Arga yang rupanya tengah menatap dirinya.

"Katanya di sini adem dan enggak bising," lanjut Oma sembari tersenyum.

"Mas Arga dulu sekolah di sini? Tinggal sama Oma juga?" tanya Alia membuka suara.

Oma mengangguk sebagai jawaban.

"Iya, boleh Oma cerita Ga?" tanya Oma pada Arga dan diangguki pria itu.

"Permisi, buk Sinta itu ada orang katanya cari ibuk, dia mau beli daun teh. Katanya udah dihubungi ibuk tadi, " ujar seorang wanita paruh baya yang menggunakan topi kerucut khas petani, yang mirip topi kerucut ulang tahun.

"Oh iya. Alia kamu di sini sama Arga aja ya, kalo mau ke mana-mana minta digendong Mas Arga aja ya," kata Oma menggoda Alia yang langsung tersenyum malu. Lantas ia pergi untuk mengurus masalah daun tehnya.

"Mas," panggil Alia pada Arga yang kini melingkarkan tangannya di pinggang Alia dan mengecup bahu wanita itu.

"Mas lanjutin dong cerita Oma tasi," kata Alia, memainkan jemari suaminya yang bertumpu pada perutnya.

"Penasaran banget?"

Alia mengangguk.

"Apa yang kamu mau aku cerita, maksudnya tentang apa?"

"Ya tentang semua Mas, tentang Mas yang sekolah di sini atau apa gitu yang aku belum pernah tau," kata Alia. Arga mengangguk dan mengecup pelipis kanan Alia yang mudah ia jangkau.

"Oke, jadi dulu aku pindah ke sini pas SMP dan lanjutin sekolah SMA juga di sini. Aku tinggal sama Oma, waktu itu masih ada Opa jadi kami tinggal bertiga tambah Pak Min dan Bik Imah jadi lima,"

Alia diam saja, ia memang tipikal orang yang tidak suka memotong pembicaraan orang lain, apalagi jika sedang bercerita seperti ini.

"Aku selalu ke sini setiap pulang sekolah. Buat sekedar nenangin pikiran atau ngerjain pr. Aku memang enggak punya banyak teman karena memang aku kaku dan engak banyak bicara," kata Arga,

"Tapi semua itu ada dasarnya, sikap aku yang kaku itu mulai tercipta saat aku duduk di bangku SMP. Papa dan Mama pernah cerai dan aku yang jadi korban. Aku selalu diejek dan akhirnya enggak punya temen. Orang tua yang pisah membuat aku benar-benar kekurangan perhatian dan akhirnya aku pindah ke sini, Di sini aku mulai semuanya dengan sikap baru aku yaitu tidak peduli dengan semua keadaan dan cuek pada siapapun, sampai aku kembali lagi ke Jakarta saat udah kuliah dan ternyata Papa udah rujuk lagi sama Mama. Tapi sikap dan sifat aku masih sama, susah mema ng merubah yang dua itu. Sampai aku bertemu kamu dan perlahan semua sikap aku kembali seperti dulu, dulu sebelum aku pindah ke sini."

"Aku? Tapi kita baru jumpa pas Mas jemput Rara dari rumah aku pas dia kesasar itu Mas, dan itu terjadi beberapa bulan yang lalu,"

"Bukan, itu bukan awal aku kenal kamu, itu awal kamu kenal aku tapi aku tau kamu jauh sebelum itu tepatnya lima tahun yang lalu. Aku lihat kamu di panti asuhan yang Mama dirikan lagi bagi-bagi makanan buat anak panti dan setiap aku ke sana ada kamu. Jadi aku putusin untuk ikutin kamu dan cari tau soal kamu," ucap Arga menghentikan bicaranya dan menatap raut bingung dari Alia, mengecup lagi pelipis sang istri.

"Untuk apa?"

"Untuk kenal kamu lebih banyak lagi meski kamu nggak tau aku. Setelah aku tau kamu masih SMA maka aku tunggu sampe kamu lulus dan pas kamu lulus aku ada urusan ke Belanda sampai  beberapa tahun dan pas ketemu kamu lagi itu aku baru dua bulan di Jakarta," jelas Arga membuat kaget dan menatap tidak percaya pada Arga.

"Mas ngarang ya? Mana ada begitu ceritanya," protes Alia percaya.

"Loh jadi gimana? Coba deh kamu cerita sama aku gimana cerita yang sebenarnya?" kata Arga nenaik turunkan alisnya.

"Ya ... ya aku nggak tau. Tapi kalau ceritanya kaya gitu kenapa sikap Mas kayak dingin plus kaya nggak nerima pas kita dijodohin sama Mama dan Ibu?" tanya Alia dengan nada menuntut.

Arah mengusap wajah sang istri dengan telapak tangannya.

"Natapnya biasa aja dong Dear, kayak mau mangsa aku aja kamu," kata Arga yang tangannya langsung ditepis oleh Alia.

"Jawab dulu Mas! Jangan ngelak deh," sungut Alia dan menatap Arga dengan mata galaknya tapi tetap saja bagi Arga itu tidak galak melainkan tatapan manis nan menggemaskan.

Duda Tampan (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang