6 ÷ Tamparan

224 60 5
                                    

3 hari berada di rumah sakit membuat Lestari bosan setengah mati. Tidak seru ternyata kalau sehari nggak ribut sama papa dan Dinar. Semua itu adalah sarapan,makan siang, dan makan malam bagi Lestari. Beradu banyak argumen dengan ego memuncak masing-masing. Tidak ada yang mau mengalah.

Baru saja mendudukkan pantat di kursi. Anita sudah menggebrak meja Lestari. Marah? Tentu. Siapa yang tidak marah mejanya digebrak seperti itu. Lestari bukanlah gadis cengeng yang akan diam dan menangis. Saat ia dirundung ia akan melawan.

"Maksud lo apa?" tanya Lestari dengan mata penuh amarah. Ia berdiri kemudian mendorong bahu Anita kasar.

"Lo nggak usah sok pura-pura sakit! Nggak usah sok cari sensasi cari perhatian! Lo udah buruk di mata kita. Dan lo nggak usah caper juga ke Laskar. Gatel banget." Ucapan Anita mendapat tawaan dari Lestari.

"Caper lo bilang? Gue sekarat lo bilang caper? Kalo gue mati? Lo mau bilang apalagi? Lo pinter sih, tapi mikir gitu aja otak lo cetek banget. Yakin pinter nggak tuh?"

"Lestari lo!"

Anita hendak menampar Lestari. Akan tetapi tangan gadis itu sudah menahan dan menghempas tangan Anita yang sudah melayang hampir mengenai pipinya.

"Pipi gue terlalu suci buat disentuh sama tangan sampah lo!" Lestari menunjuk jidat Anita dan menonyornya pelan.

Arimbi baru saja sampai dan mendengar ucapan terakhir Lestari saat membalas perlakuan Anita. Hal itu membuat Arimbi dilema. Apakah iya Lestari adalah pembully? Ia menunduk takut dan duduk di kursinya. Lestari sempat melirik ke arah Arimbi.

Anita pergi dengan kesal. Jika tidak ada gengnya, Anita tidak bisa melawan lagi. Ia memang cupu, dan akan tetap selalu begitu. Semua orang yang membenci Lestari adalah cupu. Mereka adalah tong kosong nyaring bunyinya. Hanya ikut - ikutan membenci tanpa tau bagaimana sifat asli Lestari.

"Pagi - pagi udah bikin gue emosi." Gadis itu duduk di sebelah Arimbi. Ia menoleh dan tersenyum pada gadis manis tersebut. Arimbi jadi gemetar kayak mau dijodohin sama juragan.

"A-aku pergi dulu," ucap Arimbi terbata. Lestari mengernyit. Kenapa Arimbi terlihat ketakutan. Apakah wajahnya ini menyebabkan global warming?

Tak ingin kebanyakan overthinking.
Lestari menekan tombol power pada ponsel apel kegigit miliknya. Ia melihat spam dari Laskar. Kalau begini jomblo pun berasa punya pacar.


Laskar

Tari!
Lo ilang ke manaaaaa?!!!
Gue ke ruangan Lo kok
cuma kasur doang
sama dinding
Jangan bilang Lo bundir!
Woi!
Gue kyk orang gila nyariin lo!
Lo di mana?!!!

(Send pict)
📷
Sekolah😝
Gue kangen ribut
sama Dinar.

Setelah mengirim chat. Lestari meletakkan kepala pada lipatan tangan. Selama di rumah sakit, sama sekali belum ada yang mengunjunginya kecuali Laskar. Lelaki itu yang mengurus pembayarannya, tentu saja pakai uang Lestari.

Mau menangis pun tidak ada gunanya. Menangis tidak akan mengembalikan semuanya. Tidak akan membuat mama bangun dari koma. Dan tidak akan membuat papa sadar.

Tiba - tiba Lestari merasakan elusan pada kepala. Ia mendongak dan mendapatkan sosok laki-laki yang selalu ada untuknya. Laki-laki tanpa pamrih selalu datang jika Lestari sedang merasa sulit walau ia tidak sedang membutuhkan Laskar.

Lentera Laskar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang