Brak!
Srat!
"Lo kalo udah bosen hidup jangan mikir buat bunuh diri!"
Suara berat membuat Lestari terpaku. Dia masih shock dengan kejadian yang baru saja terjadi. Mobil pick up yang remnya blong itu menabrak trotoar jalan dan beberapa motor sehingga menyebabkan macet karena kecelakaan. Tubuh Lestari bergetar melihatnya. Untung saja tadi ia dengan cepat ditarik oleh seseorang.
Mendengar suara berat itu, Lestari mendongak. Ia tidak salah bukan? Ia sedang tidak bermimpi bukan? Lelaki itu, Dinata. Dinata yang menolongnya. Lagi - lagi Dinata yang menyelamatkan nyawanya, sama seperti dulu.
Memori dalam otak Lestari berputar, membuat matanya berkaca - kaca melihat raut wajah Dinata yang terlihat khawatir. Tangan lelaki itu masih menggenggam erat pergelangan tangan Lestari.
"Ngapain sih ke tengah jalan? Kalo lo ketabrak dan keseret ke situ gimana?! Lihat tuh! Mikir!"
Akan tetapi perkataan Dinata sangat berbeda dengan dulu.
"Lestari! Nggak papa kan? Harusnya lihat - lihat dulu. Untung aja kamu nggak kenapa - napa."
Setelah ingatan itu hilang, Lestari langsung melepas pegangan tangan Dinata.
"Makasih udah nolongin."
"Nak, kamu nggak papa kan? Ya Allah, harusnya nggak usah diambil nak bolanya," ucap ibu yang tadi. Lestari memberikan bola kepada anak kecil dan tersenyum.
"Dijagain bolanya ya, biar nggak gelinding lagi. Nggak papa Bu, udah ke ambil kok bolanya."
Lestari tersenyum pada ibu dan anak itu. Dinata memperhatikan dengan tatapan dinginnya.
"Terima kasih ya nak sekali lagi."
"Iya sama - sama."
Mereka berjalan pergi dari hadapan Lestari. Gadis itu terdiam, tak tau harus bersikap bagaimana di depan Dinata. Dia senang, namun juga sedih. Dinata selalu membuat Lestari bingung dengan perasaannya. Rasa suka dan rasa sakit hati selalu bercampur jadi satu saat dirinya berada di dekat Dinata.
"Dinata, maka-" belum selesai Lestari mengucapkan terima kasih, Dinata sudah pergi meninggalkannya dengan mengendarai motornya menjauh. Gadis itu menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis.
'It's okay, Lestari. Nggak papa.'
Lestari melihat orang-orang berkerumun untuk menolong korban kecelakaan. Gadis itu seketika teringat bagaimana kondisi mama waktu itu. Ia buru - buru menyebrang saat merasa aman, dan berlari ke gang rumahnya.
Sampai di rumah ia langsung berjalan menuju kamar tanpa melirik ke arah mama tiri dan Dinar yang tengah membuat kue bersama. Seharusnya di tempat itu ada Lestari dan mamanya, di mana mama selalu membuat kue yang enak bersama Lestari dulu.
Ceklek!
Setelah menutup pintu kamar. Lestari melempar tasnya ke atas kursi. Kemudian merebahkan tubuh ke kasur. Pandangannya menatap ke arah langit - langit kamar. Berusaha sepenuhnya untuk menahan air mata agar tidak mengalir, namun usahanya sia - dia. Air mata itu mengalir membasahi pelipisnya.
Walaupun begitu bibirnya tetap tersenyum. Lelah sih sudah pasti. Di luar kamar Lestari selalu menjadi badut. Bahkan keluar pintu kamar pun ia harus memakai kostum itu.
"Gila ya hidup itu. Mau ngeluh!" Teriaknya, untung saja kamarnya sedikit kedap suara.
"Ya Allah, cape- Alhamdulillah."
Lestari berpikir, ia tidak boleh banyak mengeluh pada Tuhannya. Ia harus banyak bersyukur.
Tangannya mengambil ponsel di dalam saku rok. Sepi, biasanya Laskar bakal spam banyak banget. Dari semalam lelaki itu tidak membaca chatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Laskar ✓
Teen Fiction[END] Ini tentang Lentera, Laskar, dan Lestari. Tentang kebahagiaan yang diinginkan dan kebahagiaan yang dirindukan. Pun tentang lentera yang diidam-idamkan. Siapakah sosok lentera sesungguhnya? *** "Laskar gue iri sama lo." "Kenapa iri? Apa yang pa...