28 ÷ Malam Bersama

128 35 0
                                    

Lestari terduduk dan memeluk kedua kakinya malam itu, dengan perasaan hancur yang selalu sama di setiap malamnya. Dia menangis dan ketakutan tiba-tiba saat mengingat Papa memukul Mama. Teriakan-teriakan Mama dan bentakan Papa saat itu berputar di kepalanya membuat dirinya benar-benar takut dan gelisah.

"Tari bodoh! Tari bodoh nggak bisa selamatin Mama! Tari bodoh nggak bisa buat Mama seneng! Papa sama Mama kayak gini semua gara-gara Tari!"

Selama ini Lestari selalu memendam semuanya. Bahkan mentalnya pun dirusak habis-habisan oleh Papanya sendiri. Dan ia tak pernah memberitahukan hal itu pada siapapun. Setiap malam ia menangis, berteriak dan menahan dirinya agar tidak melukai diri sendiri. Sangat sulit, namun keinginan Lestari untuk sembuh sangatlah besar. Dia tidak mau membuat Mama kecewa karena ia menyakiti dirinya sendiri.

Mama sangat tidak suka dengan itu.

"Tari bodoh banget! Tari goblok banget!" racaunya bersamaan dengan pukulan pada kepalanya sendiri, ia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Tidak ada yang dengar. Biasanya juga seperti itu. Dia akan tenang dengan sendirinya.

"Emang anak nggak berguna! Nggak bisa bahagiain Mama!" teriaknya malam itu. Hingga lama-lama tubuhnya terkulai lemas dengan mata bengkak dan kondisi yang acak-acakan.

Matanya mengarah ke pergelangan tangan, namun tangisnya semakin terdengar memilukan. Malam ini ia kambuh lagi. Lestari sangat membenci itu. Itu sangat menyusahkan dirinya, benar-benar sangat menyusahkan dirinya.

Ponselnya berdering menunjukkan nama Laskar. Buru-buru Lestari mengangkat telepon Laskar. Dia menangis, membuat Laskar kaget. Segera Laskar mengendarai motornya ke rumah Lestari, padahal ia baru saja selesai bekerja malam itu.

Lestari meraih obat dan meminumnya. Ia memejamkan mata dan mengatur napasnya agar bisa lebih tenang. Ia tidak boleh terlihat seperti ini di hadapan Laskar. Mengapa juga tadi dia menangis saat mengangkat telepon dari Laskar.

Pada akhirnya, Lestari harus berdiri dan mencoba terlihat baik-baik saja. Lagi.

Gadis itu berjalan keluar rumah. Rumahnya sepi, pasti pada sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Grekkk...

Tin!

"Kar..."

Mendapati sosok Laskar yang baru sampai. Lestari langsung menghampiri lelaki itu. Tersenyum kepadanya dengan mata sembab.

"Kenapa? Ada apa?" tanya Laskar khawatir. Sebab pandangan sendu Lestari selalu mengoyak hati Laskar begitu hebatnya. Peduli dengan Lestari adalah tujuan dari hidup Laskar untuk saat ini. Laskar selalu mendedikasikan dirinya sebagai tempat aduan dan sandaran bagi Lestari.

Saat Laskar siap untuk menunjukkannya Lestari hanya tersenyum dan menggeleng, "Overthinking, hehe."

"Kamu bohong kan?" mata Laskar terus menelisik kebohongan itu. Laskar tau Lestari berbohong. Berbohong berbohong dan terus saja seperti itu. Apa dia tidak lelah?

Lestari menggeleng kembali, "Enggak, serius. Boleh peluk nggak?" tanya Lestari. Tanpa basa basi, Laskar langsung mendekap sahabatnya sangat erat. Air mata Lestari kembali mengalir dan membasahi bahu Laskar. Laskar merasakannya. Bahkan dengan getaran di tubuh Lestari. Gadis itu tampak hancur malam ini. Entah perihal Dinar, Papa, atau Mama.

"Temenin aku ya malem ini. Sebentar aja," cicitnya terdengar sederhana saja.

Laskar mengelus kepala Lestari dengan sayang. Dia sangat menyayangi gadis itu, tanpa sebab.

"Maaf, aku ngerepotin Laskar."

"Nggak pernah ngerepotin."

"Makasih."

Lentera Laskar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang