24 ÷ Bahagia Yang Abadi

166 38 3
                                    


Laskar memegang pundak Lestari yang bergetar hebat. Air matanya terus berderai saat melihat Mama terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit. Tadi kondisi Mama melemah, detak jantungnya menurun dan Mama kejang-kejang. Saat ini Mama tengah berjuang di dalam dengan ditangani dokter.

"Mama, Kar..." lirih Lestari menangis.

"Kita berdoa ya," kata Laskar merasakan kesedihan Lestari juga.

"Kemarin aku ke sini Mama masih baik-baik aja kok. Dia membaik malah, tapi kenapa sekarang malah gini. Gimana nanti kalo Mama pergi, Kar? Siapa yang bakalan jadi tempat buat aku pulang?" tanya Lestari. Tangisannya benar-benar mengiris hati Laskar. Di setiap desir darahnya terasa menyakitkan. Entah mengapa kepedihan Lestari dapat ia rasakan. Dan itu sangat hebat rasa sakitnya.

Laskar mendekap tubuh Lestari erat. Gadis ini sudah banyak menangis Tuhan. Haruskah ia menangis lagi untuk kali ini? Sampai kapan air matanya terus mengalir? Bagaimana Laskar bisa bernapas lega jika gadis ini terus saja menderita? Berikan setitik harapan bahagia untuk Lestari. Ia yakin Lestari akan memperjuangkan setitik kebahagiaan itu menjadi seluas lautan.

Tanpa Laskar sadari, air matanya ikut menetes. Pedih sekali rasanya setiap mendengar tangisan Lestari.

"Mama..."

Terlebih lagi keluarganya tak ada yang datang satu pun. Kecuali, seorang perempuan yang berlari tergopoh-gopoh menghampiri Lestari. Seorang perempuan tak berdaya yang selalu menjadi saksi bagaimana keadaan Lestari di rumah. Bagaimana cara Papa memperlakukan putrinya dengan buruk.

"Mbak Irma..." Lestari memeluk erat Mbak Irma. Mbak Irma tak bisa berbuat banyak. Jika ia macam-macam, pasti ia akan dipecat. Terlebih lagi ayah Mbak Irma sedang sakit keras di desa. Ibunya juga sudah tua, jika Mbak Irma tak bekerja, maka ia dapat uang dari mana? Mbak Irma hanya lulusan SD yang tak memiliki bakat apapun untuk dikembangkan. Andai ia punya kekuatan untuk melawan Pak Narendra, maka ia akan melakukannya. Mbak Irma sudah tidak tahan.

"Mbak, Mama di dalem. Mbak gimana? Mama kondisinya melemah..." Mbak Irma menangkup kedua pipi Lestari. Menggelengkan kepalanya guna memberi isyarat untuk tidak berpikir macam-macam. Mbak Irma memeluk Lestari erat saat tangisannya menjadi pecah. Lestari sangat lemah tanpa Mama. Sekali lagi, dia tidak baik-baik saja tanpa Mama.

Banyak doa mereka panjatkan saat ini. Hingga dokter keluar memberitahu tentang kondisi Mama.

"Gimana? Mama baik-baik aja kan?" Lestari berdiri di hadapan dokter. Memohon jawaban bahagia dari mulut lelaki itu.

Dokter menghela napas, "Maaf harus mengatakan ini."

Lestari menggeleng lemah.

"Kondisi Bu Ayu semakin kritis setiap menitnya. Jika dalam waktu delapan jam tidak ada perubahan. Kita tidak bisa berbuat apa-apa."

"Bohong, bohong kan?" Lestari menatap kedua mata dokter tajam.

"Maaf, nak. Berdoa terus. Keajaiban itu nyata. Saya permisi, setelah lima jam, saya akan kembali lagi. Jika ada apa-apa panggil saya segera."

Tak berlama-lama. Lestari masuk ke dalam ruangan Mama. Ia menutup mulut menggunakan tangan saat banyak sekali selang dan alat biadab yang menempel pada tubuh Mama. Bunyi detak jantung di monitor membuatnya sangat kesal.

"Ma.."

Lestari mendekat dan duduk di sebelah Mama. Dengan perlahan ia meraih tangan Mama dan menggenggamnya erat, "Tari kangen loh sama Mama. Mama bangun yuk-hiks. Mama nggak capek apa tidur terus? Mama bangun yuk...Ma."

Laskar memegang pundak Lestari saat gadis itu benar-benar tak bisa dikendalikan. Air matanya membasahi tangan Mama. Suaranya pun semakin mengeras dengan isakkan memilukan. Mbak Irma tidak masuk. Ia tidak tega melihat majikan yang amat ia sayangi terbaring lemah di atas kasur rumah sakit.

Lentera Laskar ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang