Teruntuk: I

480 32 7
                                    

DIRI SAYA SENDIRI

Tangisan meraung di sudut dunia.
Seorang lelaki menundukkan kepala dengan luka robek yang masih menganga di dalam hatinya.
Dirinya adalah satu-satunya teman baginya.
Sebagai tempat diskusi tentang apa, mengapa, dan bagaimana seharusnya.

Entah apa yang selalu bergumul di dalam lubuk hati manusia.
Panik yang tak jelas sumbernya;
Wajah-wajah manusia yang tak pernah diharapkan ada;
Atau beragam kecewa yang setia mengikat erat batin dan kepala.
Membuat sistem pernapasan harus selalu disertai pejaman mata.

Mana yang lebih membuatmu nyata:
Kita atau kata?
Tawa atau air mata?
Bahagia atau kecewa?
Tak apa, silahkan dustai jawabannya.
Sebab bagaimanapun hidup ini memperlakukan kita.
Kita masih berhak berpura-pura.

Mari kita tetap menari ceria di atas lantai aksara.
Meski taman hati kita terkoyak derita yang menghujani tanpa aba-aba.
Mendikte luka dengan bahasa;
Menyimpan rahasia di sela-sela kata;
Merindu nama disebuah makna;
Atau membunuh masing-masing kecewa dengan jeritan metamorfosa.

Tak perlu menahan suara,
sebab luka butuh bicara.
Tak perlu menghentikan air mata,
sebab memaksa hujan reda adalah hal yang paling gila.

Aku memang tak mengerti apa-apa.
Tentang luka;
Tentang kecewa;
Tentang derita;
Atau tentang apa-apa yang membuatmu tenggelam dalam lautan tanda tanya.

Tapi sampai kapan kau mengasingkan diri?
Sampai kapan kau membunuhi setiap hari yang datang untuk peduli?
Sampai kapan kau mengutuk berbagai hal yang tak mampu kau mengerti?
Demi tangis yang telah menetes ribuan kali.
Sampai kapan kiranya hati dan telingamu akan berfungsi?

Aku bukanlah apa-apa.
Aku bukanlah siapa-siapa.
Aku hanyalah kepingan asa yang tertiup masa di mana realita menjadi lebih menyakitkan dari pada apa yang ada dikepala.
Aku hanyalah produk kecewa dari segenap cinta yang tidak pernah menjadi nyata.
Tanpa rasa;
Tanpa asa;
Membedaki diri dengan hiasan aksara;
Lalu berdansa bahagia dengan alunan kata-kata tanpa pernah ada seorangpun yang sudi bertanya "apakah aku baik-baik saja?"

Aku juga manusia.
Aku punya luka.
Aku butuh telinga.
Tapi setiap saat aku bersuara;
Mereka menjadi fana.
Mereka menulikan telinga.
Mereka hanya membanding-bandingkan luka seolah rasa sakit dan derita adalah sebuah lomba yang tak pernah jelas siapa pemenangnya.

Maka, katakanlah dengan bahasa nurani.
Kemana lagi harus kuseret tubuh ini?
Kemana lagi harus kulangkahkan kaki?
Apakah maju ke depan lalu aku dicampakkan lagi?
Atau mundur ke belakang lalu aku dipermainkan lagi?

Sampai kapan aku harus merasakan nyeri?
Sampai kapan aku harus tersenyum dengan kepalan jari?
Apakah bersabar menunggu hari dimana waktu membuatku melepas bumi?
Atau tebakar mengundang maut datang membawaku pergi dan menyudahi cerita ini?

Aku sakit.
Aku terjangkit.

Aku pecah.
Lalu aku berdarah.

Duniaku benar-benar kehilangan jati diri.
Manusia lupa di mana menaruh hati.
Kemunafikan menginfeksi kepala sampai palung hati.
Dan kita, hanyalah objek transmisi dari cinta dan kepingan-kepingan benci.

Aku hanya tidak mengerti.
Jika benar mencintai adalah perihal keikhlasan hati.
Mengapa aku harus merasakan nyeri, ketika aku mengikhlaskan orang yang kucintai berlabuh dilain sisi?
Sungguh, semua ini seperti semacam misi bunuh diri.
Yang mengharuskanku menyelamatkan satu sisi lalu membiarkan diriku binasa seorang diri.

PULAU PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang