Harga Matiku

102 15 0
                                    

(Bagian: 1)

Bolehkah aku tahu,
terbuat dari apa hatimu itu?
Yang selalu ditusuk pilu namun masih saja mendekap haru.

Tolong beritahu aku,
seberapa banyak air matamu?
Yang selalu ikhlas diperas sendu hanya untuk do'a,
yang kian menghidupi pembuluh darahku.

Saat kutemukan sedih di wajahmu.
Saat kutemukan retak pada permukaan hatimu.
Saat itu pula kau tersenyum mengubah resahku.
Saat itu pula menjadi tanya yang kian membatu:
Apa kau itu benar-benar seorang penipu?

Bila kau sedang tertawa.
Bila kau sedang ceria.
Bila kau sedang bahagia.
Apa kau sedang berpura-pura?

Kau terus memberiku cinta, saat dirimu kupenuhi luka.
Kau tetap menuntunku mesra, saat janjiku selalu saja berujung dusta.
Tapi mengapa kau masih saja percaya dan percaya membuat tanda tanya besar, akhirnya menjulang di atas kepala:
Sayapmu kau sembunyikan di mana?

Dekatkan wajahmu.
Eratkan pelukmu, purnamaku.
Kecup aku, malaikatku.
Sebab di sudut sana, bahkan setanpun tahu: Kaulah segalaku.

Aku tahu, renta tubuhmu kian menjadi.
Aku tahu, rapuh belulangmu kian menyakiti.
Aku tahu, peluh lelahmu kian membebani dan takkan mau berhenti.
Tapi aku mohon: aku tak pernah mau kau pergi.

Biarkan waktu tetap berlalu dengan angkuh.
Biarkan aliran air di sumur berubah menjadi keruh.
Tapi kasihmu: aku akan selalu butuh.
Sebab tanpamu: aku takkan pernah utuh.

Jangan jatuhkan lagi air matamu.
Jangan tekuk lagi simpul senyummu.
Genggam jemariku dan terimalah maafku, yang hanya bermodal air mata serta lidah yang kelu.
Sebab di sudut hati terdalamku,
mencintamu adalah Harga Matiku, Ibu.

Dan Tuhan,
Engkau tahu nafasnya bertaut dengan nafasku.
Degupnya senada dengan jantungku.
Dan ringkihnya, akan selalu menjadi tangis bagiku.
Maka jika dunia kami telah berbeda, hamba bersimpuh kepadaMu:
Sandarkan lelahnya disurgaMu untukku.

PULAU PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang