Sinar jingga kembali datang.
Mewarnai langit sebelum gelap menyerang.
Di bawah langit yang sama, aku terduduk di kursi tua.
Menyaksikan matahari meredup sebelum akhirnya tenggelam ditelan gelapnya malam.Mari kita cukupi segala basa-basi bisu.
Putar tubuhmu dan mulailah mendengarkan aku.
Mendengar jerit nuraniku;
Mendengar pahit pengorbananku;
atau sekedar mendengar cerita pedih hati kecil yang selalu kututupi di atas janji-janjiku.Aku tertekuk di antara puing-puing kehancuran.
Mencari kesadaran di setiap lengkingan jeritan yang selalu kututupi keceriaan.
Memeluk bayangan;
Mengutuk kenyataan;
Merangkai harapan;
Merajut keyakinan;
Menunggu keajaiban;
Memalsukan senyuman;
atau memangku mesra setiap kesakitan yang kemudian kau sambut dengan secarik pengkhianatan.Apakah hadirku memberatkanmu?
Apakah juangku terlampau membebanimu?
Apakah hangatku tidak pernah cukup menenangkan keluh kisah hidupmu?
atau jangan-jangan kau sendiri yang tidak pernah mau untuk tahu?Jika bukan aku labuhanmu, mengapa kau selalu beri harap kepadaku?
Bukankah lututku yang bengkak membiru merengek memohon kepada Tuhan hanya untuk seuntai namamu?
Sungguh, melihatmu berakhir di lain bahu benar-benar membuat keram logikaku.Apa arti dari sebuah genggaman bila akhirnya meninggalkan?
Apa arti dari sebuah dekapan bila akhirnya mencampakkan?
Apa arti dari sebuah pertemuan, penantian, pengorbanan, tangisan, rintihan, atau apa pun yang akhirnya hanya membuat satu pihak berlumur penderitaan?Sebodoh apa lagi aku harus meyakinkanmu?
Sedungu apa lagi aku harus menantimu agar kau melihat ke arahku?
Aku sudi larut dalam permainanmu;
Kau memenjaraku;
mengikat leherku;
membius kesadaranku;
lalu seenaknya pergi mencari peruntungan baru ketika yang kulakulan hanyalah setia dan patuh menunggu.Kau keasyikkan datang dan pergi seolah rasa adalah permainan fantasi.
Menarik-ulur hati tanpa pernah sedikit pun sudi berempati.
Mengedepankan gengsi merajai seluruh bifurkasi.
Mencekik nurani tak ingin rugi tapi berkata seolah paling tersakiti.Aku termakan ilusi,
dan aku terlalu jauh mengedepankan hati.
Beranggapan kau begitu menyinari laksana matahari,
yang menyilaukan hati namun tak pernah dapat kumiliki.Setelah kau mengingkari;
Mengkhianati;
Membunuh hati;
Tenang saja, aku tidak akan sedikit pun benci.
Pun takkan menganggapmu pernah lahir di muka bumi.Apakah sekarang aku yang terdengar tidak punya hati?
Apakah sekarang aku yang terlihat tidak memiliki nurani?
Tapi, bukankah kau yang baru saja membunuhnya dengan tingkah lakumu sendiri?
Bukankah kau yang mengajari sekaligus menciptakan ketidakmanusiaanku ini?Pergilah sejauh mungkin.
Lupakan saja tentang hari kemarin.
Genggam pengkhianatanmu dan janganlah berpaling ke yang lain.
Do'aku untukmu, selesai di ujung kata "aamiin."Berbahagialah sepuasnya di dunia,
sebelum karma memutarkan rodanya.
Dan jika suatu hari kau bertanya aku di mana?
Aku ada di setiap derita dan sesal yang akan kau rasa.

KAMU SEDANG MEMBACA
PULAU PUISI
PuisiMasuk ke dalam puisiku, sebetulnya salah kamar. Tak perlu buru-buru keluar, kau tersesat di tempat yang benar. Kumpulan puisi-puisi yang kutulis 2 tahun yang lalu hingga sekarang. Akan update waktu suka-suka.