Setiap malam punya cerita, berbagai sudut kota menyimpan tawa juga beberapa lagu mengisahkan tentang kita, tapi lagi-lagi kita terluka. Lagi-lagi kita terjatuh, lagi-lagi kita lumpuh terhadap rasa yang menurut kita utuh tapi pada akhirnya terbunuh. Pada rasa yang tumbuh semakin angkuh, kita merasa yakin akan tempat berlabuh, tanpa menduga akhir yang semakin rapuh.
"Aku bertaruh pada takdir yang katanya paling menentukan, dan waktu yang paling lihai menyembuhkan. Namun ia tak pernah tau cara agar melupakan."
Pukul tiga dini hari, hantu dari masa lalu itu datang lagi. Atau aku yang tak pernah benar-benar beranjak pergi?
Malam ini aku mengenangmu—lagi, setelah beberapa hari aku berlari di dalam kepalaku sendiri.
Malam ini aku sadari—lagi, bahwa kau memang telah pergi. Tak kutemui lagi tenang yang kucari. Bahwa ak benar-benar sendiri.
Dan malam ini aku menatapmu—lagi. Bukankah menyakitkan? Saat kau tersenyum dan tertawa di hadapan orang yang pernah kau cinta, sementara kau tak lagi menjadi siapa-siapa di hatinya.
Semakin saya tumbuh semakin saya tahu bahwa terkadang bentuk rasa sakit yang paling buruk bukanlah ketika kita banyak mengeluarkan darah dan menjerit kesakitan atau ketika kita menangis di hadapan teman-teman kita setelah putus.
—melainkan ketika kita bangun pukul tiga dini hari, lalu menangis di bantal sementara tubuh kita gemetar, berusaha menghentikan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULAU PUISI
PoesíaMasuk ke dalam puisiku, sebetulnya salah kamar. Tak perlu buru-buru keluar, kau tersesat di tempat yang benar. Kumpulan puisi-puisi yang kutulis 2 tahun yang lalu hingga sekarang. Akan update waktu suka-suka.