Aku mengerjakan pekerjaan rumah geografi sembari mendengarkan mereka berteriak satu sama lain. Catatan tentang lapisan atmosfer terasa sempurna dengan mendingin dan meningginya suhu suasana. Jiwaku membeku dan mencair berulang-ulang kali. Jadi, sekiranya seperti ini rasanya menjadi sebuah meteor—hancur berkeping-keping tanpa pegangan.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah bertopik matematika sembari berdoa dalam hati meminta mati. Hentikan ini, angka-angka yang katanya menentukan masa depan, rumah tua yang tidak pernah bertemu rasa nyaman saat kembali pulang, serta pintu yang terbanting memukul lorong telinga. Apa arti menghitung angka dari rumus jikalau masalah yang sebenarnya tidak memiliki solusi. Nyatanya, mereka salah dalam membuat perhitungan sebelum merakit rumah dan tangga. Salah siapa? Dan harus ke mana?
Aku mengerjakan pekerjaan rumah perihal sejarah sembari berharap secepat-cepatnya menjadi sesuatu yang tinggal nama. Menghilang dimakan waktu atau tragedi dan hanya bersisa menjadi aksara pada buku tua yang tidak diminati. Aku berharap sepenuh hati menjadi patung tua zaman kolosal, karena mungkin dengannya aku akan menjadi tidak bersuara, tidak berperasa, dan melihat semuanya dari perspektif benda yang tidak bernyawa.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah perihal ekonomi. Lucu karenanya seluruh tulisan dan tabel ini terasa lengkap dengan masalah finansial yang dibisikkan secara diam-diam. Aku tidak masalah, tidak perlu khawatir, aku mengerti semuanya. Tidak perlu berteman dengan suara sunyi yang bersembunyi, jujurlah apa adanya dan akan kubuat ayat jurnal pengikhlasan.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah perihal seni budaya. Di mana kutemukan sebuah arti seni dari tatapan sinis. Aku merekam budaya pergi lari menuju malam hari adalah sesuatu yang melegakan hati. Aku diajari bagaimana caranya menggambar kenyataan dunia di atas mimpi palsu dongeng cerita anak. Aku bernyanyi di dalam hati perihal apa maknaknya menjadi hasil yang tidak diinginkan katanya. Sungguh sempurna, aku cinta seni budaya.
Aku mengerjakan pekerjaan rumah perihal bahasa dan cara beretorika. Ibaratnya sebuah tulisan, maka mereka sangat miskin aksara untuk dapat mengerti satu sama lain. Mereka terus saja mendikte kalimat yang menyayat ketimbang menulis surat permintaan maaf untuk mengobati satu sama lain. Lewat bahasa, tiada lagi kamus kata-kata bersih dan kotor pada benakku. Semua yang tersisa adalah percikan api yang mengundang kebakaran lewat satu dua kata.
Oh, bisakah aku cuti satu hari dari pekerjaan rumah? Apakah nilaiku akan rendah? Apakah tandanya aku sesuatu yang gagal nantinya?

KAMU SEDANG MEMBACA
PULAU PUISI
PuisiMasuk ke dalam puisiku, sebetulnya salah kamar. Tak perlu buru-buru keluar, kau tersesat di tempat yang benar. Kumpulan puisi-puisi yang kutulis 2 tahun yang lalu hingga sekarang. Akan update waktu suka-suka.