Pada Titik Nol

52 6 0
                                        

Purnama kini lupa caranya bercerita tentang syahdunya peraduan kata, pada gejolak rindu yang mendera; tentang hilangnya jejak tatapmu, dalam tatanan rasi bintang utara; tentang pudarnya pemaknaan kata kita dalam halaman ke delapan puluh lima kamus bahasa. Dan tentang rasa yang sirna bagai tertelan kilatan supernova. Tak bersisa, lenyap dalam sebuah konstelasi semesta.

Langit pun hilang arah menepis kehadiranku, pada stagnasi waktu yang terpecah. Membias tak berbekas, terhempas bebas di atas tapak tilas, saat pelukanmu enggan terlepas.

Pada titik nol, kita pernah sedekat kening dan semesta, berbalas kata, saling bermakna cinta, yang acap kali kita sebut dengan nama berbeda. Di titik nol, kita pernah sejauh mata dan sepasang telinga, menempa titik buta yang kasat mata—saling menegaskan bahwa kita adalah dua hal yang tidak kasat rasa; saling meremukkan dada; tertimbun pecahan kerikil di lini masa.

Kita, berbeda, tanpa pola, terjebak dalam baris perdebatan diantara rona senja. Tak terhitung, tak terbilang; kisah kita terbakar jadi arang.

Tarian hujan pada pelupuk mata hanya menjadi kegiatan konservatif yang biasa. Pelukan perpisahan di pinggiran kata hanya menjadi diorama pada pementasan asmara bersimbah luka.

Kepada purnama, menghilanglah bersama pendar semu yang tersisa. Biarkan pagi yang melahap usia karena disitulah aku kembali berdenyut pada garis waktu. Mengorbitkan lagi rindu pada dimensi yang terpantau rancu. Menghidupkan lagi tawa pada tandusnya dataran hati yang beku—menegaskan kembali bahwa hatiku, tak layak menjadi rumahmu.

PULAU PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang