Malam mengetuk jendela sepi yang mendekap tubuhnya sendiri, dibisikinnya partitur hampa; pengiring elegi atas dua hulu sungai yang tengah bermonolog dengan takdirnya.
Bibir ini masih terpasung kenyataan, enggan bergumam mengutarakan gelisah atau mencari lengan Ibu untuk sekedar basa basi; Bu, anakmu patah hati.
Namun, itu hanya bagian dari elegi, nada yang mengalun di antara bantal yang basah, ada dua hulu sungai yang telah kehilangan hilirnya. Menyisakan renjana yang mulai lapuk, pun mungkin rasa yang kembali remuk.
Lantas sayup-sayup hujan turun, bukan hanya partitur hampa, kini semesta berwujud pria menampar lapuknya renjana. Menyajikan hidangan makan malam; ialah duka yang dikemas kerisauan.
Pada lembar monokrom kala mata terpejam, terlukis imaji dan tiap jengkal memoar yang pernah diutarakan. Menjadi penyempurna untuk renjana yang mulai lapuk, berakhir rasa yang benar-benar remuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULAU PUISI
PuisiMasuk ke dalam puisiku, sebetulnya salah kamar. Tak perlu buru-buru keluar, kau tersesat di tempat yang benar. Kumpulan puisi-puisi yang kutulis 2 tahun yang lalu hingga sekarang. Akan update waktu suka-suka.