Ialah Kamu Hujanku

46 8 0
                                    

(Bagian II: Antololgi Afeksi.)

Kau boleh melanglang buana kemanapun kau suka; kepada seseorang yang dulu pernah membuatmu sesakit itu atau kepada ia yang bisa membujukmu untuk memalingkan pilihan kepadanya.

Beberapa waktu lalu, aku mengenangmu pada sebuah malam. Berteman remang lampu kamar dan secangkir kopi hangat yang kubuat. Kau seolah-olah meyakinkan diri bahwa aku memang sangat merindukanmu—memori di kepala memutar otomatis ketika kita bisa duduk berdua di satu meja; bercerita tentang Kota Hujan yang di dalamnya ada seorang lelaki yang mengucapkan selamat ulang tahun kepada perempuannya di malam hari yang penuh hujan; dan kembali menyurat hujan di hari-hari yang selalu mendung—itu adalah aku.

Dulu, aku adalah seseorang yang selalu menunggu balasan pesanmu, meski aku tahu kadang kau sibuk dengan urusanmu. Pun sebagai seseorang yang tak peduli dengan keluhanmu soal rambut yang terlalu pendek sehabis kau potong. Bagiku dirimu tetap seseorang yang sama seperti saat pertama kali aku menemukanmu—tidak berubah.

Sekarang, aku tetap menjadi seseorang dengan kesediaannya untuk hal-hal itu. Pun jika kau datang untuk menceritakan rasa sakitmu yang disebabkan orang baru, aku bersedia. Karena aku adalah telinga yang pernah sengaja kau tulikan.

Atau, kau datang hanya untuk merebahkan diri dari lelahnya pencarian, aku bersedia. Bahkan jika kau hanya datang untuk menjenguk keadaanku saat ini, tak apa. Karena aku tetaplah rumah meskipun kau tak ingin hidup di dalamnya.

Sekiranya kau masih mau untuk pulang, maka di sana akan selalu ada pintu yang terbuka lebar tanpa harus kau mendobraknya. Pun jika kau tak mau lagi untuk pulang, maka di sana tetap ada rumah yang berdiri kokoh sekalipun sengaja kau tiadakan arah jalan pulangnya.

PULAU PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang