(apa lagi lantai. Ia tersenyum pelan, yang ini punya Tuhan.....)
Lucu bagaimana aku menemukan seseorang yang tiba-tiba teriak lantang, "Aku mau jadi dinding!"
Aku melirik ke kanan-kiri, aman, tidak ada orang. Sebab kalau orang lain dengar, ia bisa diledek-ledek.
"Hah? Mau jadi dinding? Mau dihinggapi cicak, serangga atau bahkan kecoa sebelum mode lepas landas ya? Harapan macam apa itu, terlalu mengada-ngada."
Anak itu bergeming sebentar, menimbang-nimbang barang kali memikirkan alasan kenapa ia mau jadi dinding. Maksudku kan, kalau mau terlihat kokoh dan kuat, masih ada atap. Atap jelas jadi barisan terdepan perihal hadapi ancaman.
"Kenapa dinding?" Tanyaku akhirnya keluar juga, penasaran bagaimana ia menjawab dari sudut pandangnya, yang mungkin saja belum ada intervensi hiruk-pikuk dunia.
"Karena kuat, berdiri tegap, hebat."
Sesuai dugaan, aku harus senang karena masih punya sudut pandang yang polos kekanak-kanakkan. Baru ingin kutanyakan kenapa tidak jadi atap, atau jendela, pintu, atau apa saja yang sama kuatnya. Anak itu kembali buka suara.
"Aku tidak mau jadi atap, posisinya ada jauh di atas." Ia mengacungkan jari telunjuknya ke atas. "Aku tidak suka melihat segalanya, tapi tidak merengkah siapa-siapa." Lalu acungannya turun menunjuk lantai, "apa lagi lantai." Ia tersenyum pelan, "yang ini punya Tuhan. Aku tidak mau orang tersungkur dan bersujud padaku yang kadang juga merasa kelelahan."
Sesaat seisi ruang diisi keheningan, aku cukup lama terdiam dan merenungkan.
"Dinding mendengarkan dan menguatkan banyak hal, meski bukan seperti atap yang melindungi dari segala hantaman, meski bukan seperti lantai yang bisa jadi tempat menumpahkan banyak kesulitan. Aku mau jadi dinding, Kak. Dinding rumah sakit yang mendengar banyak berita baik atau pelik. Dinding bandara, terminal, atau stasiun kereta, yang jadi saksi pulang dan pergi. Dinding mana saja, yang mengamati setiap rasa di dunia manusia. Aku ingin jadi dinding yang meskipun tidak siap dalam banyak pertarungan, yang meskipun kadangkala kelelahan tapi tetap bisa jadi sandaran dan sama-sama menguatkan."
Ia tersenyum diakhir perkataan, lalu aku melihat figurnya perlahan memudar, dalam pantulan cermin kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PULAU PUISI
PuisiMasuk ke dalam puisiku, sebetulnya salah kamar. Tak perlu buru-buru keluar, kau tersesat di tempat yang benar. Kumpulan puisi-puisi yang kutulis 2 tahun yang lalu hingga sekarang. Akan update waktu suka-suka.