Teruntuk: IV

120 14 0
                                    

PEREMPUAN BERMATA HUJAN

Baru kali ini aku melihat perempuan bermata hujan. Matanya seperti kombinasi indah dan gundah. Seperti hujan yang mampu menggiring galau dan gelisah, yang dapat mengingatkan kita pada kenangan lama. Perempuan dengan lengkung senyum yang manis, namun getir. Seakan di ujung bibirnya ada derita yang berat, sehingga senyumnya tak bisa lepas terangkat. Pikirannya tersesat diantara pahitnya luka lama. Hatinya seperti sedang meronta. Mata dan senyum perempuan ini kurang lebih mengisyaratkan hal yang sama.

Di suatu senja, pada hari Minggu. Perempuan itu sedang duduk di sebuah kedai kopi sambil menatap keluar jendela. Aku menghampirinya dan bertanya, mengapa ia terlihat begitu merana.

Perempuan yang hatinya memar ini membanjiri cerita hanya dalam sekali pandang. Tubuhnya lunglai dibantai hidup yang mengkhianati pagi, siang, dan malam.

"Katanya ia mencintaiku, nyatanya ia tidak mencintaiku." Ia meneguk kopi pada tegukan pertama diikuti tarikan senyum yang ia buat seadanya.

Ia mengenangnya dalam rasa yang terdalam, bergetar, karena kesedihan yang temaram. Seiring kekasih lamanya tiba-tiba tiada, meninggalkannya lengkap dengan patah hati yang merana. "Ia mencintaiku..." ungkapnya diikuti tarikan napas yang berat, "dulu."

"Kau boleh menceritakan semuanya, aku mendengarkanmu." Aku menyediakan sepasang telinga bersamaan dengan tubuh yang siap untuk dia lemparkan segala amarah dan sumpah serapah.

Namun ia tak bergeming. Apa semua perempuan itu sama? Keras kepala hanya untuk sebuah air mata, yang enggan mengabarkan bahwa ia menderita?

"Apa yang harus kuceritakan ketika ceritanya sudah selesai?" Jawabnya dengan lirih, dan aku menangkap jelas maksudnya. Kenyataan benar-benar menelanjangi habis angannya, meninggalkan segala yang tinggal. Lenyap dalam senyap, tak ada tempat untuk menetap. Kesedihan memang datang dari tempat yang dekat, dari percaya yang teramat melekat, bahwa cinta tak pernah pekat.

Aku memberikan usapan pada punggung tangannya. Mungkin bisa memperbaiki sesuatu, mungkin juga tidak. Ia mengangkat berat kepalanya, melihatku dengan tatapan sekacau itu membuatku tak nyaman. Ah, kali ini aku benci sorot matanya, gumamku.

Tiba-tiba ia tertawa lalu menangis, air matanya meleleh di tubuh lelahnya. Pikirnya pura-pura lupa adalah cara melupakan luka. Tidak! Konon, ia sedang menikmati sedih dengan cara paling bahagia.

Selanjutnya hujan datang menghampiri, pada malam Desember yang perih. Ia bangkit lalu mengenakan luka sebagai mantel kemewahan. Lukanya meluap memberantakkan diri sendiri, sedang tak satu pun pelangi rela membentang di hatinya yang pedih.

Bersedihlah tanpa bunyi dalam gelap yang abadi sebab kesedihan tak boleh tersisa hingga matahari terbit lagi, sebab kesedihan tak boleh terbangun dalam ramai maupun sepi. Untuk segala luka dan duka yang ia rasa selama dasawarsa. Untuk segala tangis dan trauma yang akan melekang dihati selamanya. Semoga, semesta akan selalu menguatkannya. Teruntuk perempuan bermata hujan itu, aku harap akan ada bahagia menjemputnya, segera.

PULAU PUISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang