Regan membanting stik ps-nya ke sembarang arah. Baru saja, ia berniat untuk bermain game, tetapi ia tak sengaja melihat berita yang membuat emosinya membludak dengan tiba-tiba. Radit yang tengah asyik membaca komik itu terkejut bukan main, ia menatap temannya itu, lalu mengikuti ke mana arah pandangnya.
"Polisi Periksa Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Tiga Orang Anak Dibawah Umur. Pelaku Terancam 15 Tahun Penjara." Radit membaca judul berita yang di mana berita tersebut sudah memancing emosi Regan.
Tangannya mengepal seperti ingin menghantam seseorang. Giginya bergemelatuk sedangkan matanya masih menyaksikan siaran berita tersebut. Berita itu kembali mengingatkannya akan kejadian beberapa tahun silam yang di mana kejadian tersebut membuat Aluna-kekasihnya mengalami cedera otak yang cukup parah, dan berakhir koma sampai detik ini.
"Satreskrim polres metro Jakarta Barat tengah mendalami kasus kekerasan seksual terhadap tiga orang anak dibawah umur yang terjadi di jalan delima kemarin malam. Di duga bahwa pelaku nyaris menghabisi nyawa korban karena korban sempat melawan. Kini, ketiga korban sedang menjalani perawatan intensif di rumah sakit terdekat."
Laki-laki itu semakin emosi mendengar penuturan dari pembawa acara berita tersebut. Ini adalah negara hukum, tetapi kejahatan seksual terus terjadi setiap tahunnya, bahkan bulan. Tidak hanya kejahatan seksual saja, tindakan kriminal bahkan pembunuhan nyaris mencapai angka 17%. Apakah kurangnya ketegasan dari pemerintah, hingga menyebabkan angka kejahatan terus meningkat?
Bukan, bukan kurangnya ketegasan. Hanya saja, di negara kita hukum itu bisa dibeli.
"Harusnya dihukum mati! Korban mengalami trauma seumur hidupnya. Sedangkan pelaku, setelah mendekam di penjara 15 tahun dia bisa bernapas lega," ujar Regan kesal.
"Heran gue sama pelaku kejahatan seks, apakah mereka memiliki gen keturunan? Kenapa nggak nikah aja kalau semisal udah senafsu itu, atau boking cewek kek, sekarang banyak cewek yang bisa dipake tanpa harus tanggung jawab," ucap Radit, lalu merogoh gawainya-melanjutkan kembali bacaan komiknya yang sempat terganggu.
"Aluna nyaris kehilangan nyawanya, karena mendapatkan perlakuan yang serupa dengan ketiga korban itu. Apa yang terjadi, jika pelaku tersebut memiliki anak perempuan? Bagaimana rasanya jika anak perempuannya dilecehkan orang lain?"
"Orang yang punya niat buruk, gak bakal berpikiran sampai sejauh itu, Re," timpal Radit lagi. Ya, hanya ada Radit, sedangkan Reksa dan juga Revano sedang keluar membeli camilan untuk stok nanti malam, karena mereka akan bergadang katanya.
"Coba aja pelaku yang melecehkan Aluna nggak dihukum mati! Gue orang pertama yang bakal maju buat bunuh dia!" cibirnya, seketika Irene yang baru keluar dari kamarnya itu menyahut.
"Kalau ngomong dijaga!" embus Irene menyentil bibir Regan.
"Sakit, Bun. Ah, elah!" Mata Regan mendelik, mengelus bibirnya yang masih terasa sakit.
"Gayanya mau bunuh orang, disentil gitu aja ngerengek," cibir Irene remeh. Lalu, perempuan itu mengambil remot tv, matanya tak sengaja melihat ke arah stik ps yang sudah hancur menjadi beberapa bagian.
"Ulah kamu itu?" Irene menatap Regan yang saat ini tengah menyengir kuda.
"Besok-besok nggak ada lagi stik ps! Itu udah stik ps kebarapa yang kamu banting, Re?" Irene menjewer daun telinga anaknya. Geram.
"Kalo nggak salah itu stik ps ke lima, Bun!" timpal Radit mengompori.
"Lima? Potong uang jajan! Buat ganti rugi," ujar Irene.
"Loh? Stik ps-nya punya siapa? Kok harus ganti rugi ke Bunda."
"Belinya pakai uang siapa? Emang kamu punya uang?" Irene menyungginkan ujung bibirnya, lalu perempuan itu beranjak ke arah dapur.
"BUNTUNGAN!" Regan berteriak, Irene yang mendengar pun menoleh, satu alisnya terangkat.
"BUNDA PERHITUNGAN!"
***
Pintu utama terbuka, terlihat Revano dan juga Reksa membawa beberapa kantong plastik dengan jumlah camilan yang tidak main-main. Mereka membeli semua camilan tidak tanggung-tanggung, katanya jarang-jarang Bunda Irene mentraktirnya. Itulah, yang ada dipikiran Reksa.
Reksa Alvin Syahreza, sosok laki-laki yang selalu mengutamakan penampilannya, jadi jangan heran jika laki-laki itu digemari banyak perempuan karena dia begitu fashionable, keren, tetapi sedikit menyebalkan. Berbeda dengan Revano, Revano Galandra Pratama laki-laki yang dikenal karena mulutnya yang pedas melebihi mulut tetangga itu sering kali berkomentar julid jika dirinya melihat sesuatu yang menurutnya aneh, dan tidak masuk logika. Apa pun itu.
"Buset, nggak salah lo pada? Banyak bener!" lontar Radit. Laki-laki si penggila komik, bahkan di rumahnya banyak sekali komik yang berjejer rapi di meja belajarnya. Tidak hanya itu, Radit juga lebih memilih untuk menyimpan uang jajannya ... lalu uang tersebut ia gunakan untuk top up koin yang di mana koin tersebut ia pakai untuk membuka chapter yang dikunci oleh pihak platform.
"Saldonya masih aman?" Irene menyambut kedua laki-laki itu, mengambil sebagian barang belanjaan yang dibawa oleh Reksa dan juga Revano.
"Bunda yang bayarin?" tanya Regan terkejut. Irene mengangguk sebagai jawaban.
"Dih, nggak adil banget! Giliran stik ps aja diperhitungin!" tandas Regan, iri.
"Camilan dibeli untuk dimakan. Stik ps dibeli untuk dirusakin? Camilan dimakan bikin kenyang, stik ps rusak, ngerengek minta dibeliin yang baru," ujar Irene membuat Regan kalah telak.
Semua temannya tertawa, Irene dan Regan sering kali berdebat hanya perihal masalah yang sepele. Keduanya tidak terlihat seperti ibu dan anak, melainkan seperti kakak dan adik, apalagi Irene masih terlihat muda. Katanya, janda satu anak itu lebih menggoda.
Irene pandai menempatkan posisinya. Dia adalah ibu sekaligus ayah untuk Regan, laki-laki dengan sikap plin-plannya itu. Selain itu Irene juga bisa memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, bahkan teman ribut sekalipun. Sikapnya yang humble itu membuat Irene disebut sebagai Ibu Idaman oleh ketiga teman Regan karena dia memiliki semua hal yang tidak dimiliki oleh orang tuanya.
"Kalian mau nginep, 'kan?" tanya Irene, mereka mengganguk mengiyakan.
"Kalau gitu, Bunda siapain buat makan malam nanti."
"Mau Reksa bantu, Bun?" tawarnya basa-basi.
"Boleh. Oke, Reksa cuci semua sayurnya, Radit kupas bawang, Revan potong dagingnya, biar Bunda yang siapin alat masaknya," papar Irene.
"Ah, untuk anak kesayangan Bunda, kamu bersihin ruang tv. Liat, kulit kacang berserakan di mana-mana, sapu sama pel. Sekalian sama meja makan, ya." Irene menunjuk ke arah ruang televisi dan juga meja makan yang terlihat kotor dan juga berantakan.
"Baik-baik, Re. Kalau capek lambaikan tangan!" Reksa terkekeh kala melihat wajah Regan yang terlihat sangat kesal.
"Inget, bersihin!" timpal Radit.
"Apa nggak papa, Bun? Takutnya malah makin berantakan, biasanya apa pun yang dipegang Regan suka rusak," celetuk Revano, membuat Regan membelalakkan matanya, melempar laki-laki itu dengan remot tv.
"Nggak kena!" ledek Revano, yang di mana lemparan Regan meleset dan tidak mengenai dirinya.
"Sialan! Awas lo pada. Susah emang kalo Ratu Buntung udah bersekutu sama tiga jin terkutuk!"
Hari ini, Regan yang dinistakan oleh Bunda dan juga ketiga temannya. Lain kali siapa?
Regan menghela napasnya, menatap Irene dengan wajah melas. Berharap sang bunda mengganti pekerjaannya.
"Do not accept any protest, my son!" ujar Irene seraya mengusap rambut anaknya, tersenyum puas.
To be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Teen Fiction"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...