Seorang gadis tengah berdiam diri di rooftop. Matanya memandang ke arah lapangan dari jarak yang terbilang cukup jauh, beberapa dari temannya sudah berada di area lapang untuk mengikuti pelajaran kedua, termasuk Gea—sahabatnya, yang sudah berada di sana dari beberapa menit yang lalu.
Kepalanya menunduk, helaan napas terdengar berat. Tangannya menggenggam erat satu bungkus rokok, bagaimana bisa dia membawa benda itu ke sekolah? Padahal dia sendiri tidak merokok, bahkan menghirup asapnya saja ia tidak suka. Lalu, kenapa rokok ini ada di dalam tasnya?
Gara-gara masalah ini, dia tidak bisa mengikuti pelajaran, lagi. Bahkan, ia sudah mendapatkan peringatan dari guru BK. Bukan lagi kali pertamanya ia membuat masalah, tetapi kali ini sudah diluar nalar gadis itu.
Dia Fayolla, murid aneh yang selalu saja merugikan dirinya sendiri. Ya, sebut saja seperti itu, karena memang benar adanya.
Fayolla semakin frustrasi. Jika dirinya terus bersikap seperti ini bisa-bisa ia dikeluarkan dari sekolah, apalagi dia sudah berkali-kali mendapatkan sanksi dari beberapa guru karena dirinya terlalu sering memakai jaket atau hoodie saat jam pelajaran, atau masalah kecil lainnya yang Fay sendiri tidak sadar akan hal-hal itu, kenapa?
Dari lubuk hati yang paling dalam, bahkan Fay saja tidak bisa menampik apa yang dilakukannya itu benar, sekalipun itu demi kebaikannya. Namun, tetap saja Fayolla tidak menyukai dirinya yang seperti ini.
Suara derap langkah kaki berjalan mendekat. Dari bawah sana ia melihat seorang gadis yang saat ini tengah berdiri dipinggir rooftop. Pandangannya tampak sendu, beberapa kali gadis itu menundukkan kepala, lalu kembali menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong, melakukannya secara berulang.
"Fay?" panggil laki-laki itu semakin mendekat ke arahnya. Fayolla masih diam, menoleh saja dia enggan. Ada yang aneh dari gadis di hadapannya itu, meski raganya ada di sana. Namun, jiwanya seperti melalang buana entah ke mana.
"Kok di sini? Gak ikut olahraga?" tanyanya lagi, tetapi gadis itu lagi-lagi tak menghiraukan kehadiran orang itu yang berusaha keras menarik perhatiannya.
Matanya melihat ke arah kaki gadis itu, ada tetesan darah yang mengenai sepatunya. Di waktu yang bersamaan matanya menyipit kala ia melihat darah yang terus menetes dari tangan Fayolla, dengan cepat dia meraihnya, membuat sang empu terhenyak.
"Tangan kamu luka," ujar laki-laki itu.
Gadis itu hanya menatapnya dengan datar, seolah tidak ada rasa sakit yang menyelimuti. Padahal dia sendiri tahu ada beberapa luka sayat yang dibiarkan menganga tanpa balutan perban.
"Aku gak akan tanya ini kenapa. Mau aku obati?"
Tahu betul, jika pun ia bertanya kenapa ... alasannya akan tetap sama, adalah tidak tahu.
"Enggak usah, Kak. Nanti juga sembuh sendiri," tolak Fayolla dengan suara parau.
"Mereka perlu diobati, Fay. Gak ada ceritanya setiap luka sembuh dengan sendirinya. Jadi, luka ini juga yang jadi alasan kenapa kamu pake hoodie terus?" tanyanya memastikan. Namun, gadis itu memilih bungkam—tidak menjawab atau bahkan mengelaknya.
"Apa aku terlihat menakutkan karena gemar melukai diri?" tanyanya pelan, lebih pelan dari angin yang berembus.
Tangan laki-laki itu bergerak, menyelipkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Fayolla, lalu dia menggeleng. "Enggak."
"Berbeda itu aneh." Senyum Fayolla memudar. Ingin Rasanya Arsen memeluk gadis yang telah disukainya selama hampir satu tahun penuh itu. Namun, laki-laki itu cukup sadar, ada batas yang tak bisa ia lewati. Memangnya siapa dia?
"Enggak. Perbedaan itu unik, setiap manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kalau di dunia ini nggak ada yang namanya perbedaan itu baru aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Teen Fiction"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...