"Dari awal kita udah tahu. Kalau salah satu di antara kita ada yang mengajak pergi ke tempat ini, berarti kita lagi gak baik- baik aja," ujar Gea mengalihkan senyap.
Fayolla tersenyum tipis. Benar, yang dikatakan Gea itu memang benar, mereka berdua menjadikan tempat yang memiliki pohon besar nan rindang itu memang dijadikannya sebagai tempat mereka menenangkan pikiran yang sedang kacau.
"Lo udah kenal gue hampir lima tahun, 'kan? Apa yang udah lo tau tentang gue, Ge?" tanya Fayolla.
"Lo kenapa bahas ini, Fay?" Bukan jawaban yang terucap dari bibir Gea, melainkan sebuah pertanyaan yang mungkin membuat Fayolla bingung untuk menjawabnya dari mana.
"Tanggal 28 September itu hari ulang tahun lo, lo pindahan dari Bogor, punya ayah sambung namanya Papa Raka, lo tinggal di jalan mawar nomor 08. Lo perempuan aneh sekaligus sahabat terbaik yang gue punya," terang Gea.
Sebenarnya Gea tidak mengetahui banyak hal tentang Fayolla, karena gadis itu selalu membentengi diri untuk beberapa hal yang mungkin tidak ingin diketahui oleh siapa pun, termasuk Gea—sahabatnya.
"Gue mau cerita banyak hari ini." Gea yang melihat Fayolla semakin serius itu pun mulai mendengarkannya dengan sepenuh minat.
Fayolla tertawa kecil—bingung harus menjelaskannya dari mana dulu. "Bicara pelan-pelan aja, Fay."
Fayolla pun mengangguk tersenyum. Namun, wajahnya mengguratkan kesedihan yang mendalam. "Alasan gue pindah ke sini, bukan karena perceraian Bunda sama dia, tapi itu murni karena orang itu," ujar Fayolla yang mulai menjelaskannya dengan perlahan.
"Maksud lo, ayah lo?" tanya Gea, karena Fayolla hanya menyebutnya dengan kata dia dan orang itu—membuat Gea kurang mengerti dan takut salah mengartikan.
"Ayah yang seharusnya menjadi pelindung, justru merusak masa depan gue. Sekarang gue gak bisa lepas dari masa itu, masa di mana dia merenggut kesucian gue disaat gue belum ngerti apa-apa." Derai air mata tak bisa lagi ia tahan, Fayolla menangis di depan Gea.
Detak jantungnya berpacu dengan detik, meski rasa trauma itu kembali menyerang. Namun, Fayolla terus melanjutkan perkataannya. Kapan lagi, ia bisa memberitahu Gea jika bukan sekarang?
Karena takdir, tidak akan ada yang tahu.
"Fay?" panggil Gea, dia belum sepenuhnya percaya. Namun, air mata memang tidak bisa membohongi.
"Semua itu berlanjut sampe gue kelas 1 SMP, gue gak bisa nolak karena dia selalu bawa-bawa nama bunda. Apa yang lo bakal lakuin kalo lo ada di posisi gue waktu itu?" Fayolla menatap langit cerah siang ini. Berusaha untuk tidak menangis, tetapi itu sulit.
"Semua permasalahan gak berhenti di situ, gue dapat kabar ternyata korban dia bukan cuma gue doang. Dia jadi buronan polisi, hingga satu sekolah tahu kalau gue anak dari manusia biadab itu. Dari situ, gue gak punya temen, semua orang menjauh, katanya gue menjijikan. Mereka juga bilang mungkin gue adalah satu korban dari kejahatan ayahnya. Benar, tapi kenapa gue gak bisa nerima itu semua?"
Ketahuilah, menangis tanpa mengeluarkan suara itu adalah fase paling menyakitkan. Saat di mana lo berada di titik paling rendah, dan lo hanya bisa menangis tanpa bisa berkata apa-apa. Itulah yang dirasakan Fayolla saat ini.
"Sampai saat ini gue gak bisa lepas dari hal-hal yang udah bikin gue merasa jadi manusia yang paling menjijikan. Ini juga yang menjadi salah satu alasan kenapa gue gak bisa nerima Kak Arsen, gue takut untuk mencintai seseorang, gue takut kalo dia tahu dia akan jijik sama gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Teen Fiction"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...