Chapter 19 - Pilihan Tersulit

99 7 0
                                    

Seorang laki-laki baru saja bangun. Lalu, kaki jenjangnya itu pun melangkah ke arah dapur untuk mengambil air putih, dengan mata yang masih setengah mengantuk dia menghampiri sang bunda yang sedang menata sarapan pagi untuknya.

Laki-laki itu duduk di kursi, lalu berkata, "Hari ini jadwal Bunda kosong?" tanyanya, wanita yang mengenakan daster berwarna biru muda itu pun mengangguk mengiakan.

"Memangnya kenapa?"

"Fayolla mau ketemu sama Bunda," jelasnya.

"Bunda senggang, kok. Mau jam berapa ke sininya?"

"Regan janjinya jemput dia jam delapan, sih."

"Kek ada yang aneh sama dia," ujar Regan.

Meskipun Irene—sang bunda masih disibukkan dengan tugasnya sebagai seorang ibu, wanita paruh baya itu tetap mendengarkan ucapan Regan dengan seksama. "Memangnya kenapa?"

Regan mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu pasti, cuma kek aneh aja gitu."

Regan tak membeberkan semua hal yang ia ketahui tentang Fayolla. Lagi pula, nanti juga gadis itu akan bercerita banyak kepada Irene, pikirnya. Namun, itu pun jika memungkinkan.

"Dari pertama kali Bunda liat Fayolla, dia langsung menarik perhatian Bunda. Di sekolah dia gimana?" tanya Irene.

"Aneh," jawab Regan simple.

"Aneh gimana?"

"Gak tahu. Regan 'kan bukan siapa-siapanya, Bunda." Regan mengambil dua lembar roti lalu dioleskannya selai blueberry ke roti tersebut.

"Biasakan cuci muka sama gosok gigi dulu, Re. Jangan terlalu sering membiasakan kebiasaan buruk," komentar Irene.

"Nanggung, Bun. Bentar lagi juga mandi, kok," jawabnya. Irene pun hanya menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.

"Jorok!" desis sang bunda.

Regan hanya terkekeh, setelah itu dia pergi dengan roti yang diapit oleh mulutnya, sedangkan kedua tangannya membawa segelas susu dan juga satu piring yang berisikan beberapa roti yang sudah dioleskan selai olehnya.

Laki-laki yang memiliki model rambut curtain haircut itu sudah rapi dengan pakaian kasualnya. Keluar dari kamar untuk segera pergi menjemput Fayolla, karena waktu sudah menunjukan pukul delapan lebih lima menit.

"Hati-hati, jangan ngebut," ujar Irene yang melihat Regan sedang mengambil sepatu putihnya.

"Hari minggu gak bisa ngebut kan macet, Bun," terang Regan yang sangat yakin bahwa hari ini jalanan akan dipadati oleh banyaknya kendaraan.

"Mau macet mau gak, ya, jangan ngebut pokonya!" tegas Irene.

Entah, didengar atau tidak. Laki-laki itu hanya mengangguk sebagai jawabannya, setelah itu ia pun pamit, mengendarai motornya—melaju pelan meninggalkan perkarangan rumah.

Dua puluh menit telah berlalu. Kini, Regan sudah berdiri tepat di depan pintu utama rumah Fayolla, dipencetnya beberapa kali bel tersebut, menunggu si pemilik rumah untuk membukakan pintu.

Monochrome! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang