Chapter 15 - Luka Abadi?

118 8 0
                                    

Mentari mulai menepi ke peraduannya, langit yang cerah sebentar lagi akan didekap malam. Suara burung berkicau menyapa hari yang kian gelap, berterbangan bebas mencari tempat untuk berteduh. 

Ke empat laki-laki yang baru saja selesai berlatih basket itu memilih untuk beristirahat sebentar di sebuah kafe yang tak jauh dari tempatnya latihan. Melepaskan penat sekaligus mencuci mata, karena kata Reksa karyawan kafe di sini cantik-cantik.

Meskipun begitu, Regan mau pun Revano tak tertarik akan hal itu, mereka pergi ke kafe tersebut karena memiliki lokasi terdekat dari tempat mereka latihan. Terkecuali Radit kalau soal perempuan, dia selalu satu frekuensi dengan Reksa.

"Sayang kali muka cakep, kalau gak tebar-tebar pesona," ujar Reksa yang mendapat dukungan dari Radit.

Regan hanya menggelengkan kepala melihat tingkah dua manusia di depannya itu, karena mempermainkan perasaan perempuan bukanlah ahlinya. Ditambah lagi dia memiliki seorang gadis yang saat ini tengah berjuang keras untuk mempertahankan hidupnya. Sedangkan, Revano ... laki-laki itu tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.

"Gak bosen apa jadi kanebo kering," sambungnya.

Revano menatap Reksa, lalu melempar kulit kacang kepada laki-laki tersebut. Tahu betul, untuk siapa sindiran itu jika bukan untuk dirinya. "Sekalinya basah, gue bisa nguras semua cewek yang lagi deket sama lo."

"Lagian ngapain pacaran? Buang-buang waktu, buang-buang tenaga, buang-buang emosi juga. Apalagi kalo gak ada kepastian, cih!" cibir Revano.

"Perjelas omongan lo, Van." Regan bersuara menatap Revano dengan mata yang menyorot tajam.

Regan merasa tersinggung, ketika Revano mengatakan kalimat terakhirnya. Padahal Revano tak berniat sedikit pun untuk menyinggung perasaan laki-laki itu, semua kata yang keluar dari mulutnya itu murni karena spontan. Namun, Regan malah beranggapan lain.

"Maksud lo?" tanya Revano.

"Gak usah berlebihan kalo ngomong. Lo kalo udah tahu gimana rasanya jatuh cinta, mungkin lo bakal ngelakuin hal yang lebih bodoh daripada kita."

"Rasa itu gak bisa dikontrol, Van. Kita gak tahu kapan kita akan jatuh cinta, jadi lain kali jangan terlalu meremehkan perasaan orang lain."

"Ck! Lo baper sama omongan gue?" Revano tertawa kecil, lucu saja melihat Regan baper hanya karena ucapannya.

"Terserah lo!" imbuh Regan.

"Apaan, sih, mendadak serius gini, elah!" timpal Radit, yang berusaha mencairkan kembali suasana di antaranya.

Lain halnya dengan Revano, laki-laki itu terdiam setelah mendengar ucapan Regan. Lalu, pikirannya tertuju pada seorang gadis yang ia temui di atap sekolahnya tadi siang. Dia pun tersenyum dibalik wajah cueknya.

***

Derap langkah terdengar, ketika dirinya sedang asik berbaring dengan mata yang ia tutupi oleh satu buah buku—guna menghindari cahaya matahari yang menyilaukan matanya. Mendengar suara itu, bukannya bangun, tetapi ia malah mengabaikan kehadiran orang itu.

"Tuhan!" Suara nyaring perempuan itu mengganggu ketenangannya.

"Satu mama aja udah cukup!" teriaknya lagi.

Monochrome! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang