Hari minggu kembali menyapa. Seorang gadis yang baru saja bangun itu keluar dari kamarnya. Namun, seketika matanya yang masih setengah mengantuk itu membelalak—terkejut akan kehadiran sepasang suami istri, yang tak begitu disukainya.
Dua perempuan dan satu laki-laki itu kini tengah asik berbincang, tanpa mereka sadari ada hati yang terluka dibalik canda tawanya. Langkah kaki gadis itu mengayun pelan, malas jika harus berhadapan dengan mereka. Harusnya, ia tak perlu keluar kamar daripada harus menemui seseorang yang tak pernah ia ingin temui. Bukan karena benci, tetapi hanya tak ingin saja.
"Papa tahu gak, sih? Dibalik kedatangan Papa, ada satu hati yang tanpa sengaja kalian sakiti," tanyanya.
Laki-laki itu mengerti hati siapa yang terluka. Namun, mau bagaimana lagi? Keinginan Fira sendirilah yang membuat keadaan menjadi seperti ini. Entah, siapa yang paling egois di sini, hingga membuat beberapa hati harus terluka karena keegoisannya.
Andrian—sang ayah mendekat. Lalu berkata, "Terus menurut kamu ini semua keinginan Papa, Ge?"
"Kamu salah, Nak. Lebih tepatnya ada empat hati yang terluka di sini. Kamu, Papa, Mama, dan Tante Shofia," papar Adrian, Gea terdiam. Bagaimanapun juga ia tak menyukai jika Adrian datang bersama Shofia.
"Tapi Papa bisa 'kan datang sendirian?"
Shofia tahu, seberapa tidak sukanya Gea kepada dirinya. Lagi pula, siapa yang akan menyukai seseorang yang sudah berani menggantikan posisi ibunya? Mungkin, semua anak pun akan melakukan hal yang serupa.
"Cukup, Gea! Mama gak pernah ngajarin kamu buat jadi anak yang kurang ajar," ucap Fira, yang berusaha menengahi perdebatan antara ayah dan anak itu.
"Gea baru sadar, ternyata yang paling egois di sini adalah Mama. Mama pikir setelah membuat Papa menikahi Tante Shofia permasalahan akan selesai? Keputusan Mama yang konyol itu menyakiti hati banyak orang!" ungkap Gea, yang mulai kesal.
"Selama ini Gea gak pernah benci sama Tante Shofia. Gea ngelakuin semua ini biar dia benci sama Gea dan minta cerai ke Papa, tapi Mama selalu saja memohon agar Tante Shofia bertahan." Matanya memerah menahan tangis.
"Mama pernah berpikir gak, sih, semua perempuan mempunyai mimpi untuk menikah dengan laki-laki yang dicintainya, tapi permintaan Mama menghancurkan mimpi Tante Shofia, menghancurkan perasaan Papa dan perasaan Mama sendiri."
"Bahkan sampai sekarang aku gak ngerti kenapa Mama ngelakuin ini semua, untuk apa, sih, Ma? Untuk kebaikan Gea? Gea gak butuh!" jeritnya. Air mata pun lolos begitu saja.
"Lagi pula, Gea gak bisa bahagia di atas penderitaan orang lain. Bisa aja sekarang Tante Shofia terlihat baik-baik aja, tapi kita gak tahu gimana perasaannya."
"Mama bukan Tuhan, dokter juga bukan Tuhan, yang tahu kapan kita akan mati."
Shofia sedikit terkejut ketika mendengar semua yang diucapkan Gea, ternyata gadis itu sama sekali tidak membencinya. Apa yang dilakukan Gea selama ini, semata-mata untuk membuat sang ayah bercerai dan ia bisa menikah dengan laki-laki yang dicintai.
"Tante pikir kamu sudah kelewatan, Ge. Meskipun pernikahan ini tanpa ikatan cinta, Tante bisa menerimanya, yang penting Mama kamu senang," ujar Shofia.
"Kalau Mama senang, Mama gak akan nangis tiap malem sambil peluk foto Papa!" kilah Gea. Tahu betul, bahwa Fira memang selalu menangis setiap malam, karena Gea tahu sang ibu masih sangat mencintai Adrian—ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Teen Fiction"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...