Saat ini, Fayolla tidak tahu arah pembicaraannya mengarah ke mana. Dari awal, Regan terus berbicara perihal rasa peduli, sayang, cinta, hingga laki-laki itu mengucapkan kata terakhirnya. "Bidadari Regan."
"Kamu tau?" Suara Fayolla mengalihkan senyap, Regan yang sibuk melempar danau dengan batu itu pun menoleh.
"Kalo gue jawab gak tahu, nanti lo bilang gede mau jadi apa. Kan gak lucu kalo senjata makan tuan!" tukas Regan. Namun, Fayolla menggeleng dengan cepat. Bukan, bukan itu yang dimaksudnya.
"Jika seseorang yang udah siap jatuh cinta, maka hatinya juga harus siap terluka. Emangnya kamu siap?" jelas Fayolla diakhiri tanya.
Regan terdiam, ia masih belum memberikan jawaban. Lagi pula, semua orang jika dihadapkan dengan luka tentu saja jawabannya adalah belum siap atau mungkin tidak siap. Namun, setiap keputusan yang diambil selalu ada yang namanya konsekuensi.
"Tujuan aku mencintai adalah bahagia bukan terluka." Regan menjawab setelah beberapa menit jawaban dari pertanyaan Fayolla itu menguap di udara.
Fayolla tersenyum, lalu berkata, "Tujuan semua orang pun begitu, Re. Tapi tetep aja yang namanya jatuh itu sakit."
Dengan satu gerakan, Regan mencium tipis bibir Fayolla, lalu menjauh beberapa sentimeter, hingga pandangan mereka terkunci beberapa menit. Fayolla yang terkejut itu pun hanya bisa menatap Regan tanpa ekspresi, sedangkan Regan masih terdiam-menatap Fayolla lekat-lekat tanpa berkata apa-apa.
"Mau pulang sekarang?" tanya Regan yang merasa kikuk dengan debaran yang menggila.
"Masih mau di sini," ujar Fayolla tenang. Namun, tidak dengan hatinya yang merasa terombang-ambing.
Tindakan Regan itu berhasil membuat jantungnya berpacu lebih cepat, membuat suasana menjadi canggung beberapa saat. Bahkan, sampai saat ini pun ... rasanya malu jika harus bertatapan dengan laki-laki itu.
Lagi dan lagi hening mendominasi kebersamaan mereka. Harusnya, Regan bisa menahan diri untuk tidak mencium gadis itu, maka suasana pun tidak akan secanggung ini. Dua remaja yang memiliki sifat saling berlawanan itu, kini mereka sadar ada rasa yang tak bisa dipungkiri lagi-seolah takdir sudah memberi kode bahwa memang sudah seharusnya mereka bersatu.
Regan tidak perlu berbicara banyak hal untuk mejelaskan bagaimana perasaannya saat ini, laki-laki itu bisa membuktikan bahwa perasaannya tidaklah salah.
"Soal yang tadi gue minta maaf, harusnya gue gak ngelakuin itu," ujar Regan yang berusaha menghangatkan suasana yang sedari tadi membeku.
Fayolla mengangguk pelan, lalu gadis itu pun tersenyum tipis. Kini, tidak ada lagi aku dan kamu, melainkan kita. Ya, memang sudah seharusnya begitu, bersama untuk saling memberi warna ... agar hidupnya tak lagi monokrom.
Memiliki orang baru bukan berarti kita sudah sepenuhnya melupakan, mungkin ini terlalu cepat untuk mereka saling berhubungan. Namun, mereka juga berhak melangkah untuk melanjutkan hidup agar tidak terbelenggu dalam cerita masa lalu.
"Janji sama aku buat gak nangis lagi," ujar Regan yang tiba-tiba menginterupsi.
"Aku gak mau liat kamu terus-terusan kayak gini. Kamu juga harus bahagia," tuturnya lagi, menatap Fayolla dengan serius.
Dari awal, gadis itu takut jika harus berhubungan dengan seseorang. Entah, itu takut dikecewakan atau mengecewakan. Setelah kejadian di masa lalu ... sulit bagi Fayolla untuk menyimpan kepercayaan terhadap laki-laki, meski ia tahu tidak semua laki-laki itu brengsek seperti ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Fiksi Remaja"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...