Chapter 17 - Darren Alfarizi

105 7 1
                                    

Pintu itu terbuka, menampilkan sosok Fayolla yang akan menghadap Raka—ayahnya. Raka yang sadar akan kehadiran anaknya itu pun langsung mempersilakannya duduk. Gadis itu paham betul, kenapa Raka menyuruhnya untuk menemui sang ayah, sudah jelas ini perihal masalah dirinya dengan sang Bunda.

Fayolla tidak menyempatkan untuk mandi dan makan terlebih dulu. Ia langsung menemui Raka, karena mungkin Raka memiliki cara untuk memperbaiki semua permasalahan ini sedikit lebih cepat. Ia tahu, bahwa saling mendiamkan bukanlah solusi yang tepat.

"Gak mau mandi atau makan dulu?" tanya Raka pengertian.

Fayolla menggeleng, "Nanti aja."

Raka menatap Fayolla dengan serius. Tidak ada rasa terintimidasi yang gadis itu rasakan, dia terlihat biasa saja, karena ia lebih ke mempersiapkan diri untuk menghadapi situasi di mana Raka akan memojokkannya dengan beberapa pertanyaan. Seperti yang sudah-sudah.

"Ada yang mau Fay bicarakan ke Papa?" tanya Raka baik-baik, laki-laki itu berusaha untuk memahami kondisi anaknya.

"Fay gak tahu harus jelasin dari mana permasalahan antara Fay sama Bunda," ujar gadis itu.

"Langsung ke intinya saja," imbuh Raka.

"Fay merokok, kata Bunda gitu."

Fayolla menunduk, entah kenapa matanya mudah memerah lalu menangis. Tidak bisakah lebih kuat dari ini? Bahkan, ini belum apa-apa.

"Tapi Fay gak ingat apa pun, Pa."

Dia menatap Raka—sang ayah dengan matanya yang merah. Sedangkan, Raka masih setia mendengar pembelaan dari anaknya tersebut. Tidak memotong atau memojokkan, karena ia harus mendengarkan penjelasannya sampai selesai, lalu mengambil kesimpulan dari dua sudut pandang, yang masing-masing memiliki penjelasan berbeda.

"Ini adalah kedua kalinya kamu ketahuan ngerokok, dan alasannya masih sama. Tidak ingat apa-apa," ujar Raka.

"Tapi nyatanya emang seperti itu, Pa. Fayolla sadar, mau seberusaha keras apa Fay mencoba untuk menjelaskan, gak akan ada satu orang pun yang percaya."

"Papa bukannya gak percaya sama kamu. Papa percaya sama kamu, kecuali untuk masalah ini, dan kalaupun yang dilihat Bunda itu benar, Papa minta untuk tidak melakukannya lagi, Fay."

Fayolla mengangguk, ia tahu tidak ada lagi alasan untuk membela dirinya ketika semua orang sudah tak lagi mempercayainya. Beberapa menit kemudian, Fayolla pun keluar dari ruang kerja Raka, dan tak sengaja melihat Viona yang sedang duduk di ruang televisi.

"Fay minta maaf untuk kejadian kemarin, maaf kalau aku udah ngecewain Bunda." Fayolla memeluk sang Bunda dari belakang.

"Fay janji untuk tidak melakukannya lagi." Air matanya terjatuh detik itu juga. Sakit saja rasanya ketika ia harus berjanji untuk hal yang sama sekali tidak ia ingat.

Viona meresponsnya dengan tangan yang mengusap pipi sang anak, lalu ia pun berbalik—mengecup kening Fayolla penuh kasih. "Sekarang mandi setelah itu makan." Viona berucap. Meski jauh dari lubuk hatinya ia masih merasa sangat kecewa.

Gadis itu pun mengangguk, lalu ia mengambil langkah untuk memasuki kamarnya. Dari dulu juga ia sadar, bahwa berterus terang pun tidak akan menyelesaikan masalah, karena hidup yang ia jalani saat ini terlalu sulit dimengerti orang lain. Maka dari itu, kenapa Fayolla selalu memilih bungkam daripada berbicara.

Monochrome! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang