Chapter 28 - Filosofi Monochrome

86 6 1
                                    

Langit udah cerah, tapi mata lo masih mendung.

— Regan Adelio Abian

***

Mendengar pemaparan Fayolla, Arsen semakin yakin bahwa gadis itu memang tidak mencintainya. Kini, pikirannya melesat—mengingat perkataannya dulu, ketika ia memberitahu Fayolla untuk jangan dulu mencintai seseorang jika dirinya belum bisa mencintai diri sendiri lebih dulu.

Mungkin, ini adalah jawaban yang tepat dari Fayolla untuk laki-laki itu. Kini, pertanyaan Arsen sudah mendapatkan jawaban yang pasti, dan mungkin Arsen akan berhenti di sini—sesuai dengan apa yang diucapkan kepada dirinya sendiri.

Di mata Arsen, mungkin sebagian orang beruntung bisa saling jatuh cinta dengan seseorang yang juga mencintainya. Tidak seperti dirinya yang harus dihadapkan dengan beberapa luka dan juga rasa kecewa ketika cinta yang ia miliki bertepuk sebelah tangan.

Arsen tahu betul, di dunia ini ada beberapa hal yang mungkin tidak bisa ia miliki, salah satunya adalah Fayolla Adya Kirani. Kini, Arsen akan berhenti untuk mengejar, berhenti untuk tidak lagi memikirkan apa pun tentang gadis itu, tetapi ia tidak akan pernah berhenti untuk mencintainya, kecuali takdir yang meminta.

"Untuk yang kesekian kalinya aku bikin Kak Arsen kecewa," ujar Fayolla, ia tak ingin menatap wajah Arsen karena itu akan membuat hatinya semakin sakit.

Arsen menghela napas panjang, lalu laki-laki itu tersenyum. Tetap kuat meski ia baru saja mendapat penolakan dari Fayolla. "Kamu gak bisa liat aku, Fay?" tanya Arsen. Laki-laki itu terus memperhatikan Fayolla, sejak tadi gadis itu tak berani menatapnya balik, kenapa?

"Gak bisa, sakit aja rasanya."

Fayolla mencoba untuk berterus terang. Namun, Arsen memegang kedua bahunya. Lalu berkata, "Yang harusnya sakit itu aku bukan kamu."

Fayolla hanya bisa tersenyum, yang Arsen tahu mungkin cintanya bertepuk sebelah tangan, padahal tidak seperti itu. Maaf.

"Setelah ini, mungkin aku akan berhenti. Mungkin ke depannya akan sedikit canggung, jadi aku akan berusaha untuk menjaga jarak," tutur Arsen yang langsung dibalas gelengan oleh Fayolla.

"Gak bisa bersikap seperti biasanya?" tanya gadis itu pelan.

"Bisa. Tapi aku butuh waktu," jawab Arsen. Dia bukan tipikal laki-laki yang bisa terlihat baik-baik saja, seolah tidak ada yang terjadi.

"Tapi aku mau kita seperti biasanya."

"Kalau terus berdekatan, kapan aku bisa lupain kamunya?" Fayolla terdiam, mungkin memang sudah seharusnya seperti ini. Menjauh setelah itu saling melupakan.

Hati Fayolla sedikit teriris ketika mendengarnya. Namun, harus bagaimana lagi, gadis itu terlalu takut. Kini, Arsen mengelus rambut hitam milik Fayolla, lalu berkata, "Ke kelas, gih. Udah mulai panas."

Fayolla pun mengangguk, lalu meninggalkan Arsen yang masih ingin berdiam diri di atap sana. Fayolla menyandarkan bahu ketika ia sudah menjauhi area rooftop, menjatuhkan air mata yang sedari tadi terus mencoba menerobos dinding pertahanannya.

Lima menit telah berlalu, Fayolla memutuskan untuk kembali ke kelas dengan mata sembapnya. Suasana kelas masih ramai, semua murid masih sibuk dengan kegiatannya masing-masing hingga tidak ada satu pun dari mereka yang melihat kehadiran Fayolla, kecuali Regan.

Monochrome! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang