Motor Regan kembali melaju membelah ramainya jalanan ibu kota sore ini. Di sepanjang jalan, mereka berdua tidak ada yang membuka suara, bahkan Regan sendiri tidak bertanya apa dan kenapa. Namun, tiba-tiba Fayolla memeluknya dengan erat, dapat Regan rasakan bahwa saat ini gadis itu tengah menyandarkan wajahnya tepat dipunggung lebar milik Regan.
Regan tidak menolaknya, bahkan laki-laki itu tidak mengatakan sepatah kata pun. Ada rasa khawatir dalam benak Regan, tetapi dia tidak tahu harus melakukan apa, samar-samar ia mendengar suara tangis, siapa lagi jika bukan Fayolla.
Di sela-sela kesibukannya berkendara, satu tangan Regan memegang tangan Fayolla yang saat ini masih melingkar di perutnya. Apakah ia harus berhenti sejenak atau tetap melanjutkan perjalanannya.
"Fay?" panggil Regan. Pelan, tetapi bisa didengar oleh gadis itu.
"Lo gak papa? Apa kita mau berhenti dulu?"
Fayolla yang tersadar itu pun, langsung melepaskan pelukan tersebut. Lalu, menghapus air matanya dengan cepat, tidak ia tidak bermaksud untuk memeluk laki-laki itu, entah kenapa pikirannya menjadi sangat kacau. Bayangan masa lalu terus bermunculan, membuat dada Fayolla semakin sesak.
Kini, Regan menepikan motornya di pinggir jalan. Fayolla pun turun, gadis itu membelakangi ramainya jalanan sore ini, setelah itu ia kembali menangis. Tidak tinggal diam, Regan melepaskan jaket yang dikenakannya lalu menutupi kepala gadis itu dengan jaket tersebut.
Detik itu juga tangis Fayolla pecah, ia tak perlu lagi menyembunyikan air matanya, karena orang lain tidak akan tahu bahwa saat ini dirinya sedang menangis. "Ssssttt ... ada gue, lo gak sendirian sekarang, Fay," ujar Regan seraya memeluk tubuh gadis itu.
Tidak ada jawaban dari Fayolla selain menangis. Lima belas menit telah berlalu, Regan berhasil menenangkan Fayolla. Kepala gadis itu mendongak—menatap wajah Regan dari dekat, lalu ia menarik jaket yang sedari tadi menutupi kepalanya.
"Udah nangisnya?" tanya Regan, yang diangguki oleh Fayolla.
"Capek juga ternyata," keluhnya.
Regan tersenyum tipis, meskipun ia tidak tahu seberapa berat beban yang dimiliki Fayolla. Namun, sebisa mungkin ia mencoba untuk memahami sisi kelemahan gadis itu. "Gue beli minum dulu, ya?"
Setau Regan, jika seseorang menangis dalam jangka waktu yang cukup lama itu akan menyebabkan sebagian cairan tubuhnya menghilang. Selain itu orang tersebut akan merasa kelelahan, pusing, dan juga haus yang ekstrem. Maka dari itu, Regan berinisiatif untuk membelikan Fayolla minum.
"Re?" panggil Fayolla—berhasil menahan laki-laki yang hendak pergi itu. Regan menoleh dengan satu alis yang terangkat.
"Kenapa?"
"Gue gak bisa nunggu di sini sendirian," tutur gadis itu. Bukannya manja, Fayolla memang tidak bisa ditinggal karena itu akan mengingatkannya pada kejadian di masa lalu, sekalipun situasi saat ini cukup ramai.
"Kita beli minum sambil pulang aja, ini udah mau malem," ucapnya. Lalu, Regan pun mengangguk setuju.
"Janji sama gue, jangan nangis lagi."
"Iya, gue janji, Re."
Setelah menghabiskan hampir setengah jam perjalanan. Kini, Fayolla sudah berada di rumah. Dia masih terus membayangkan tentang penyakit yang diidapnya tersebut, pantas saja beberapa tahun terakhir ini ia selalu merasakan hal-hal aneh yang tidak bisa dicerna oleh manusia normal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Teen Fiction"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...