Langkah Fayolla terhenti ketika ia melihat seorang laki-laki dengan pakaian serba hitam dan topi yang hampir menutupi seluruh wajahnya. Gadis itu memilin ujung baju, tubuhnya bergetar kembali merasakan rasa takut yang berlebihan.
Tidak ada pilihan lain, ia memutar badannya kembali—memasuki perkarangan rumah Regan. Tanpa ragu dia mengetuk pintu putih itu, tetapi pemilik tak kunjung membukakan pintunya.
"Regan!" Dia sedikit berteriak, dan terus mencoba mengetuk pintu tersebut.
Ia berusaha untuk mengatur napasnya, terlalu bahaya jika dirinya tidak bisa mengontrol serangan panik tersebut, karena itu semua akan membuatnya merasakan sesak yang luar biasa. Gadis itu kembali mengetuk pintu dengan tenang, berharap Regan dapat membukakan pintu untuknya.
"Re?" Kembali memanggil nama laki-laki itu, seakan-akan ia sudah mengenalnya cukup lama.
Sesekali ia melihat ke arah gerbang, ternyata orang itu masih ada di sekitar sana. Seolah dia sedang menunggu dirinya keluar dari rumah tersebut. Dari semenjak ia pindah, dirinya selalu diikuti oleh seorang laki-laki yang tak ia kenal sama sekali.
"Ngapain?" Suara serak itu mengejutkan seorang gadis di hadapannya.
"Gu ... gu ... gue boleh minta minum?" jawabnya, membuat laki-laki yang bernama Regan itu seketika mengerutkan keningnya, menatap gadis itu dengan aneh. Sedangkan, si empu terus memastikan laki-laki yang masih berdiri di depan gerbang sana.
Regan meresponsnya dengan anggukan, lalu mempersilakan gadis yang bernama Fayolla itu untuk masuk. Disela-sela kesibukan Regan yang tengah mengambil minum, lain halnya dengan Fayolla yang terus merasa cemas padahal posisinya saat ini sudah sangatlah aman.
Regan datang menghampiri Fayolla dengan segelas es jeruk, tetapi gadis itu malah membiarkannya, tak menyentuhnya sama sekali. Bukannya dia haus?
Terlihat tangan Fayolla yang berusaha mengetikkan sesuatu di ponselnya. Namun, tangannya yang tremor malah menjatuhkan ponsel tersebut. Dia mengambilnya kembali, setelah itu berusaha untuk mengatur napas yang sedari tadi sudah tak beraturan.
[Pa, bisa jem ....]
Lagi dan lagi, ponselnya terjatuh karena gerakan pada tangannya yang tidak bisa dikontrol. Bukan Fayolla, melainkan Regan yang mengambil ponsel itu dari lantai.
"Lo gak papa?" tanyanya, seraya mengembalikan ponsel milik gadis itu.
Dia mengangguk. "Gue kayaknya butuh istirahat sebentar, gak papa?"
Regan tak memberikan jawaban apa pun, segera ia bangkit lalu menghampiri Irene yang masih berada di dalam kamar. Satu kata yang keluar dari mulut Regan untuk Fayolla adalah kata 'aneh' karena dia berbeda dari gadis-gadis pada umumnya.
"Bun, ada Fayolla di bawah. Gak jelas banget anaknya." Adu Regan yang sudah berada di kamar Irene.
Wanita itu bangkit, menoleh ke arah Regan, lalu merapikan berkas-berkas yang berserakan di meja kerjanya. Beberapa detik kemudian, Irene menghampiri Fayolla diikuti oleh Regan di belakangnya.
"Lo?" Dia menunjuk laki-laki itu.
"Pergi!" teriak Fayolla menggema di setiap sudut ruangan.
Laki-laki yang berdiri di hadapannya itu berusaha untuk menggapai Fayolla, tetapi perempuan itu terus menjauh dengan tubuh yang bergetar hebat. Dia memeluk lututnya dengan kepala yang terus menunduk—tak berani menatap apa yang ada di hadapannya saat ini.
"Lo apain dia, Bego!" teriak Regan, seraya menyeret tubuh laki-laki itu untuk menjauhi Fayolla.
"Gue gak ngapa-ngapain, anjir! Pas gue masuk dia langsung ketakutan gitu," ujar laki-laki itu yang tak lain adalah Revano.
Memakai setelan serba hitam, membuat Fayolla memberikan reaksi berlebihan terhadapnya. Tidak tinggal diam, Irene langsung memeluk erat tubuh gadis itu, berusaha menenangkannya.
"Fay?" panggil Irene pelan, menyalipkan berapa helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya.
Tidak ada respons apa pun, selain tubuh yang terus bergetar hebat, dengan keringat yang bercucuran. "Tarik napasnya pelan-pelan, Sayang."
"Gak ada apa-apa, jangan takut." Dielus rambutnya dengan lembut, memberikan sedikit rasa aman untuk gadis tersebut.
"Dia kenapa, sih, Bun?" tanya Revano judes, pasalnya Fayolla seperti itu setelah melihat dirinya. Padahal mana ada setan setampan Revano? Begitulah katanya.
"Dia mengalami panic attack," ujar wanita yang mengenakan baju berwarna putih itu.
"Tadi dia ke rumah nganterin jaket yang waktu itu dipinjam, terus pamit pulang. Eh, taunya dia balik lagi minta minum, terus bilang kalau dia pengen istirahat, 'kan aneh, Bun," ujar Regan to the point. Setelah itu, mereka berdua pergi untuk bermain game yang sudah direncanakannya sejak malam.
Irene tak merespons, dia menatap wajah pucat Fayolla lalu wanita paruh baya itu tersenyum. "Gak ada apa-apa. Yuk, tarik napasnya lagi, lalu buang pelan-pelan," kata Irene ramah.
Diberikannya segelas air hangat. Lalu, setelah beberapa menit kemudian, Fayolla sudah tenang berkat bantuan Irene yang terus mencoba untuk menenangkannya.
"Kamu sering mengalami panic attack, Fay?" tanya Irene, yang mulai tertarik tentang gadis itu. Mendengar obrolan antara Irene dan juga Fayolla, dua laki-laki yang sedang fokus bermain game itu menoleh ke arah mereka berdua.
Kepo!
Fayolla mengangguk, tanpa mengucapkan satu kata pun.
"Sejak kapan?"
"Beberapa tahun terakhir ini."
"Kamu punya trauma atau beberapa hal yang mungkin membuat kamu merasa tidak nyaman?"
Sebenarnya, tanpa bertanya pun Irene dapat memastikan bahwa gadis cantik di hadapannya saat ini mengalami gangguan mental. Pertama kali ia melihat Fayolla dengan beberapa luka sayat di tangannya itu bisa dipastikan bahwa dia jauh dari kata baik-baik saja.
"Gak perlu dijawab sekarang. Nanti kalau emang kamu udah siap cerita ke Tante, kamu bisa datang ke sini kapan saja."
Fayolla mengangguk, lalu tersenyum. Bukannya ia tak ingin menceritakan tentang apa yang sudah terjadi kepadanya beberapa tahun silam, tetapi dirinya cukup malu untuk mengatakan yang sebenarnya. Bahkan sampai saat ini, belum ada satu orang pun yang dapat dipercaya.
Irene meraih tangan Fayolla, lalu berkata, "Setiap yang namanya luka emang bisa sembuh kapan saja, tapi kalau yang terlukanya mental kamu itu lain lagi. Luka hati lebih perih daripada luka tubuh di luar."
"Fay, depresi bukan pilihan, mengalami gangguan mental juga bukan suatu hal yang memalukan. Gak ada satu orang pun yang menginginkan mentalnya rusak, jadi jangan takut untuk bercerita."
"Kalau gitu, Fay boleh minta kartu nama Tante?" tanya Fayolla, yang mungkin perlahan akan memberikan kepercayaannya kepada Irene, mungkin.
Irene mengangguk. "Re, tolong ambilkan kartu nama Bunda," pinta Irene.
"Tante psikolog?"
Untuk yang kesekian kalinya Irene mengangguk—menjawab setiap pertanyaan dari Fayolla. Tadinya, Fay sempat merasa bingung, bagaimana bisa wanita itu membahas hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental, dan ternyata dia memang psikolog.
"Kesehatan mental itu penting."
Fayolla mengangguk, menatap Irene dengan teduh. Kini, waktu sudah menunjukan pukul dua siang, tetapi Fayolla masih ragu untuk pulang sendirian, rasa cemas sekaligus takut itu masih berkeliaran bebas dalam pikirannya.
"Pa, jemput Fay di alamat yang tadi aku kirim," ujar gadis itu di balik telepon.
Namun, bukan jawaban iya yang Fayolla dapatkan, melainkan kata tidak bisa. Pasalnya, Raka tidak bisa menjemputnya karena dia sedang berada di rumah sakit saat ini.
"Terus Papa bisanya jam berapa? Fay gak bisa pulang sendirian."
"Gue anter lo. Selamat sampe depan rumah," ujar laki-laki yang memakai kaos hitam itu.
To be continued ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Подростковая литература"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...