Pandangannya menatap kosong. Tidak peduli dengan para murid yang berlalu-lalang di hadapannya saat ini, seolah mereka semua itu tidak ada. Raganya ada di sini, tetapi jiwanya seperti melalangbuana entah ke mana. Tanpa aba-aba, air matanya menetes, sepersekian detik kemudian ia langsung menyekanya.
Mengingat kembali akan kejadian tadi pagi, yang membuat dirinya semakin merasa tidak tenang. Padahal ia sendiri tidak ingat, apakah dirinya benar-benar merokok atau tidak. Namun, sang bunda tak memberinya penjelasan apa pun, wanita itu malah mendiamkan tanpa berbicara sepatah kata pun.
***
Suara jam beker berhasil membangunkannya. Gadis yang bernama Fayolla itu membuka mata perlahan, menetralkan setiap cahaya yang masuk. Setelah itu dia meraih sebuah gelas di atas nakas, menengguk airnya sampai tandas, menyisakan kulacino tipis di atas permukaan cat coklat meja kecilnya.
Dia menatap sekitar, hari sudah pagi. Namun, ia tak mendengar suara ketukan pintu dan juga teriakan Viona—sang bunda. Dia menghela napas, kemungkinan besar bundanya itu masih marah, mengingat kejadian kemarin yang mungkin tidak akan mudah dimaafkan begitu saja.
Fayolla beranjak untuk segera bersiap-siap pergi ke sekolah, setelah itu seperti biasanya dia akan turun dan sarapan terlebih dulu.
"Fay, sudah mau jam tujuh. Cepat mandi setelah itu sarapan." Terdengar suara teriakan dari luar. Namun, suara itu bukan milik Viona melainkan suara Raka, ayahnya.
"Iya, ini baru mau mandi, Pa!" teriak Fayolla dari dalam kamar.
Setelah selesai bersiap, ia menghampiri kedua orang tuanya yang saat ini tengah menikmati sarapan pagi. Senyuman hangat dari Raka menyambut kehadiran Fayolla, tetapi tidak dengan sang bunda. Dia tampak mengabaikan kehadirannya.
"Bun?" panggil Fayolla pelan, tetapi Viona tak merespons apa pun.
"Bunda," panggilnya lagi. Namun, masih tidak ada jawaban apa pun dari bundanya.
"Dipanggil Fay, kok diem aja?" Raka bersuara.
"Eh, tangan kamu kenapa, kok diperban?" tanya Raka, seketika membuat Viona langsung menatap Fayolla.
"Fay, kenapa? Jawab Papa." Raka bertanya lagi. Sedangkan Viona masih terdiam, seolah dia sedang menunggu jawaban dari putrinya tersebut.
"Bukan apa-apa, Pa. Sudah siang, hari ini Fay berangkat sendiri aja," ucapnya, padahal dia belum sempat memakan apa pun, tetapi Fayolla harus cepat pergi untuk menghindari pertanyaan Raka.
"Bun?" Tangan Fayolla terulur untuk bersalaman, tetapi Viona masih saja mendiamkannya.
Gadis itu menarik napas panjangnya, lalu berkata, "Kalau begitu aku pamit."
Raka yang melihat sikap Viona pun merasa heran, pasalnya ia pulang larut malam, belum ada waktu untuk Viona bercerita perihal apa yang terjadi di antara dirinya dan juga Fayolla.
"Kali ini apalagi, Na? Kasian Fay kalo sikap kamu kayak gini terus," ujar Raka.
"Kalau aku gak kayak gini, Fay gak akan pernah mikir salahnya di mana. Memangnya, aku salah?"
"Masalahnya apa, Na? Kalau kamu gak bisa berbicara baik-baik dengan Fayolla, biar aku aja."
"Dia ngerokok."
Raka yang mendengar pernyataan Viona pun sedikit terkejut, disaat dua perempuannya sedang terlibat masalah, mau tak mau dirinya harus menjadi penengah untuk istri dan juga anaknya. Raka tak bisa membenarkan perihal Fayolla yang sudah berani merokok, juga tak bisa membenarkan Viona yang mudah sekali marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Teen Fiction"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...