Viona menyeret tangan Fayolla. Emosinya sudah tak bisa ia kendalikan lagi—ketika melihat putrinya yang sudah berani merokok secara diam-diam. Ada apa dengan anak gadisnya itu? Semakin hari, semakin banyak saja tingkah laku yang tidak dapat dimengerti oleh sang bunda.
Lain halnya dengan Fayolla, gadis itu hanya diam dengan satu batang rokok yang ada di genggamannya saat ini, menatap Viona dengan datar. Sesekali ia mencoba untuk berontak, lalu berkata, "Cuma ngerokok, loh. Bukan narkoba." Begitulah jawabnya.
"Cuma?" Langkah Viona berhenti, menatap anak gadisnya dengan tajam.
"Cuma kata kamu? Bilang sekali lagi depan muka Bunda, Fay!"
"Cuma rokok doang, bukan narkoba!" Fayolla menekan setiap kalimatnya dengan sangat jelas, membuat emosi Viona semakin memuncak.
Satu tamparan mendarat di pipi mulus Fayolla, gadis itu sudah melampaui batas kesabaran sang bunda. Jika seperti ini, bukan hanya tamparan yang akan mendarat di pipi anak semata wayangnya itu, melainkan yang jauh lebih sakit daripada ini.
"Bunda!" teriak Fayolla menggema di seluruh sudut ruangan rumahnya.
Menatap Viona dengan tatapan bingung, kenapa dia menamparnya?
Setelah tangan Viona berhasil mendarat dengan begitu keras di wajahnya, rasa perih dan panas pun mulai menjalar di pipi gadis itu, hingga dia meringis menahan rasa sakit. Fayolla memegang sebelah pipinya bersamaan dengan air mata yang mulai berjatuhan tanpa diminta.
"Kenapa?" tanyanya pelan, kembali menatap Viona dengan mata yang kian memerah.
Dilepaskannya cekalan Viona, ia menatap sang bunda dengan sendu—menunggu jawaban pasti kenapa wanita itu menamparnya.
"Karena kamu pantas mendapatkannya."
"Kenapa, Bunda?!" tanyanya penuh kecewa, berharap ada jawaban yang jelas dari wanita itu.
"Karena gak ada lagi sosok Fayolla di diri kamu," imbuh Viona berlalu pergi.
Jika emosinya sudah menguasai, wanita itu akan memilih untuk pergi. Bukan, bukan dia menghindari setiap permasalahan yang ada. Dia hanya menghindari beberapa hal yang mungkin akan lebih menyakiti perasaan Fayolla, karena emosinya yang tak mudah untuk dikontrol.
"Bunda!" teriak Fayolla dengan lirih.
Dia mengepalkan tangannya, di waktu yang bersamaan dia merasakan ada sesuatu dalam genggamannya. "Rokok?"
Beberapa detik kemudian, dia berlari menuju kamar, matanya menatap sekitar, mencari di mana keberadaan benda tersebut. Membuka setiap laci dengan tidak sabar, lalu dia tersenyum hampa—setelah berhasil menemukan benda yang dicarinya itu.
"Argggh!" Dia melempar satu bungkus rokok itu ke sembarang arah, terduduk lemas di atas lantai yang dingin.
"Bukan punya gue!" teriaknya dengan frustrasi.
Fayolla tidak merasa bahwa dia menyimpan barang tersebut. Namun, ini sudah yang kedua kalinya dia terciduk menyimpan satu bungkus rokok. Gadis itu menangis, meskipun dia tidak mengingatnya, tetapi kenapa dirinya harus melakukan hal sampai sejauh ini.
"Sekalipun lo pelupa! Apa gak bisa ngontrol diri buat gak ngelakuin hal-hal aneh kayak gini, Fay?" tanyanya pada diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Monochrome! [END]
Ficção Adolescente"Memangnya kenapa kalo lo hidup di antara hitam dan putih? Lo cuma perlu mewarnainya, jangan malah menjadikannya abu-abu." - Regan Adelio Abian Di saat semua anak perempuan menganggap ayah adalah cinta pertamanya, tetapi tidak untuk Fayolla. Banyak...