Chapter 20 - Selamat Jalan, Aluna

101 9 1
                                    

Motor yang dikendarai Regan dan ketiga temannya itu melaju kencang membelah jalanan ibu kota, yang kebetulan tak sepadat seperti biasanya. Kini, motor ke empatnya sudah terparkir di area pemakaman umum, lalu laki-laki itu pun mengambil satu buket bunga yang ia ikat pada jok belakang motornya.

Pemakaman Aluna baru saja selesai, Regan pun berjalan mendekat ke arah pusara kekasihnya itu. Dia tak bisa menutupi rasa duka karena kehilangan sosok perempuan yang beberapa tahun terakhir ini sudah mengisi hatinya, meski dari awal ia tahu kemungkinan Aluna untuk sembuh sangatlah tipis.

"Aluna Nadya Kahitna Binti Darwin Perwira."

Regan bersimpuh di gundukan tanah merah, yang bertaburkan aneka bunga dengan aromanya yang khas. Laki-laki itu menatap nisan yang bertuliskan nama kekasihnya tersebut, ia benar-benar tidak menyangka Aluna akan pergi secepat ini. Bahkan, ia belum sempat memberikan salam perpisahan kepada gadis itu.

"Sekarang kamu udah gak ngerasain sakit lagi, ya, Lun," lirih Regan, dia berusaha menahan air mata yang hendak keluar. Kuat, ya ... dirinya harus kuat.

Bukan hanya Regan yang merasa kehilangan, orang tua Aluna pun merasakan hal yang sama. Kepergian Aluna menyisakan duka yang sangat mendalam, terutama untuk kedua orangtuanya, Dian dan juga Darwin.

Entah, sesakit apa perasaan Dian saat ini, ketika putri satu-satunya yang ia miliki itu pergi untuk selama-lamanya. Kini, tangis Dian semakin pecah, masih tak kuat menahan sesak atas kepergian Aluna—anaknya, detik itu juga Dian jatuh pingsan di samping pusara Aluna, dengan cepat Darwin pun menggendongnya dan membawa Dian ke dalam mobil.

Setelah Darwin berpamitan, ketiga temannya pun meminta izin untuk menunggunya di area parkir. Mungkin, ada beberapa kata yang ingin Regan sampaikan sebelum laki-laki itu meninggalkan makam Aluna.

Kini, hanya ada Regan seorang diri, tak hentinya ia menatapi nisan Aluna. Berharap ia bisa secepatnya lari dari rasa kehilangan, meski kehampaan tercipta dari relung hatinya yang paling dalam.

"Dulu kamu pernah bertanya. Apa yang bakal bikin kamu jauh dari aku?" tutur Regan yang masih diselimuti rasa sedih.

Mengingat tentang pertanyaan Aluna dulu, perihal apa yang akan membuat mereka saling menjauh, yang waktu itu belum bisa ia jawab. Karena Regan sendiri tidak tahu, apa yang akan memisahkan mereka berdua. Entah, itu rasa bosan atau memang sudah tak lagi ada rasa cinta di antara keduanya, Regan tidak tahu.

"Jawabannya adalah kematian."

Lama ia bersimpuh di samping gundukan tanah merah dengan nisan di ujungnya. Kini, Regan melangkahkan kakinya—meninggalkan pemakaman dengan sejuta duka, perih, dan sedih semua menjadi satu, dia merasa bahwa sebagian nyawanya telah hilang, ikut terkubur bersamaan dengan kepergian gadis itu.

Sesampainya di area gerbang pemakaman, Regan kembali menengok ke arah pusara milik kekasihnya itu. Lalu ia berkata, "Selamat jalan, Aluna."

Ketiga temannya menyambut Regan, mereka tahu bahwa sahabatnya itu jauh dari kata baik-baik saja. Hampir satu tahun lamanya laki-laki itu menyimpan harap untuk Aluna, tetapi Tuhan merenggut nyawa gadis itu disaat hatinya belum siap kehilangan.

"Sabar, Re! Mungkin ini udah jalan terbaik untuk Aluna." Revano menepuk pundak sahabatnya itu, meski dia sendiri tahu kata sabar saja tidak akan cukup.

Monochrome! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang