1 Juni 2021.
Srrtt...!
Suara ban mobil menggesek jalanan terdengar ketika pedal rem diinjak.
Irtiza Safiyya Harika yang sedaritadi duduk pasrah di dalam mobil pun akhirnya tersadar dari lamunannya. Di samping kiri mobil, terdapat sebuah gerbang megah khas bangunan elit di masa lampau yang dicat dengan warna putih tulang. Di atas gerbang tersebut, terdapat sebuah gapura berwarna emas dengan papan nama bertuliskan 'SMA Adhinata Bangsa'.
Sungguh, gadis yang baru menginjak usia 15 tahun itu terpukau dibuatnya.
"Ayo, turun." Suara sang supir yang bernama Arman membuyarkan lamunannya.
Irtiza pun mengangguk patuh dan segera memakai ransel usang miliknya sebelum membuka pintu mobil.
Suasana di area itu terasa begitu ramai, tetapi suram. Ketika melihat ke sekelilingnya, Irtiza mendapati beberapa orang yang bernasib sama sepertinya. Mereka memiliki latar belakang daerah, agama, dan kisah yang berbeda. Namun, ada sebuah kesamaan yang tak dapat diabaikan di sini. Mereka semua baru sampai di area ini dan sama-sama memiliki wajah yang tidak antusias.
"Pegang ini." Lagi-lagi, Irtiza ditarik kembali ke kenyataan oleh sang supir. Dia menyodorkan koper sedang berwarna hitam milik Irtiza, menandakan bahwa gadis itu harus membawanya sendiri. Pria paruh baya tersebut seolah memakan awan mendung untuk sarapan. Ekspresi di wajahnya datar dan kelam, seolah tidak bahagia dengan tugasnya hari ini.
Sambil menerima koper tersebut untuk diseret, Irtiza pun mengucapkan terima kasih. Ketika mereka mulai melangkah ke dalam area megah itu, Irtiza langsung merasa sungkan bukan main. Bangunan sekolah ini betul-betul mencerminkan kaum elit sehingga ia yang ranselnya kusam dan sedikit sobek merasa rendah diri dan tak pantas. Seolah berasal dari planet lain.
Dinding dan pilar terlihat begitu mewah dan megah dengan cat putih dan beberapa bagian terbuat dari batu pualam. Berbagai tumbuhan hijau yang ada di sekitar sekolah ini bahkan terlihat lebih mahal dari uang makan Irtiza sebulan. Sungguh, Irtiza tidak pernah bisa mengerti dengan cara orang-orang kaya itu menghabiskan uang mereka pada hal-hal yang dibilang 'ekslusif' oleh masyarakat luas.
"Mulai sekarang, kamu akan tinggal di sini sampai tiga tahun ke depan," ucap Arman. "Pastikan kamu lulus dengan predikat sangat baik. Jangan berbuat macam-macam." Arman bahkan tidak melihat Irtiza saat berbicara karena dia berjalan beberapa langkah di depan gadis itu. Seolah menyejajarkan diri dengan Irtiza adalah sesuatu yang hina.
Sambil susah payah menyeret koper berat yang rodanya agak kaku, Irtiza pun menjawab, "Iya, Pak Arman."
Tuk. Tuk. Tuk.
Koper Irtiza melewati beberapa kerikil yang menyebalkan. Sama seperti anak lainnya, Irtiza dituntun untuk masuk, menerobos lorong yang membelah bangunan megah itu. Sepatunya yang sama-sama kusam seolah baru keluar dari pasar loak jika dibandingkan dengan lantai pualam yang mengilap di sini. Irtiza pun menunduk malu, membuat rambut di sisi kanan dan kiri wajah menutupi ekspresi masam miliknya.
"Siapa namamu sekarang?" tanya Arman ketika mereka hampir tiba di bagian belakang sekolah.
"Aika."
"Kamu akan memperkenalkan diri sebagai siapa selama di sini?"
"Aika."
"Siapa Irtiza?"
"Orang lain," jawab Irtiza hampa.
"Siapa orang lain itu?" tanya Arman menekankan.
"Aika di masa depan...."
"Kenapa kamu bukan Irtiza sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
S M A K S A
Teen Fiction"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memiliki alumni. Tidak pernah pula mengadakan acara kelulusan. Mereka yang masuk ke sana dipandang sebe...