"Bagaimana keadaan lukamu?"
Aika yang sedari tadi memasukkan bahan makanan ke troli dalam diam terpaksa mendongak ke arah gurunya, Pak Andra. Hati yang terus berharap cemas sejak menginjakkan kaki ke gudang persediaan makanan harus kecewa. Doa Aika tidak dikabulkan oleh Tuhan. Pertanyaan yang ingin sekali dihindarinya malah datang.
Menelan ludah gugup, gadis itu pun menggelengkan kepala pelan. "Gak apa-apa, Pak."
"Kamu yakin?"
"Iya--oh, tentang jaket Pak Andra, nanti saya kembalikan kalau sudah dicuci."
"Tidak perlu terburu-buru." Pak Andra memasukkan beberapa botol bumbu ke dalam troli. "Pastikan dulu saja lukamu sembuh. Baru cuci. Jaket saya masih banyak."
"Makasih banyak, Pak ...." Gadis itu tersenyum seadanya sebelum mengalihkan pandangan ke daftar bahan yang sudah dibuat Pak Andra. "Saya gak enak udah repotin Pak Andra segitunya."
"Tidak masalah. Yang penting kamu sudah lebih baik sekarang." Pak Andra balas tersenyum. "Dan, Aika?"
Aika kembali menatap Pak Andra polos.
"Jangan sungkan untuk bercerita jika ada masalah. Saya tahu kalau awalnya akan terasa sulit, tapi ... akan lebih baik dapat bantuan untuk cari solusi daripada menanggung beban sendiri. Dunia sudah kejam, kita tidak perlu tambah kejam pada diri sendiri dengan mendorong pergi orang-orang yang peduli." Kata-kata Pak Andra membuat Aika termenung. "Saya sudah banyak melihat orang-orang dengan beban hidup yang berat. Beberapa ada yang terlalu tersesat sehingga salah jalan dan melakukan apa yang hampir kamu lakukan kemarin.
"Tapi, apa kamu tahu sesuatu, Aika? Sebetulnya, ketika mereka merasa buntu, mereka hanya sedekat ini," Pak Andra membentuk jarak kecil dengan jari telunjuk dan jempolnya, "... dari solusi. Hanya saja, mereka sudah terlanjur tenggelam dalam pikiran dan masalah mereka sendiri sehingga tidak dapat melihat bahwa ada orang-orang yang tulus mengulurkan tangan untuk membantu mereka di permukaan. Orang-orang itu tidak dapat ikut menyelam dan menyelamatkan kamu jika tidak diizinkan untuk terjun sedari awal ....
"Jadi ...," Pak Andra menarik napas dalam, "... seandainya kamu berubah pikiran dan sudi melihat tangan-tangan yang terulur itu, kita bisa cari solusi dari masalahmu sama-sama. Hanya saja, kamu perlu terbuka agar kita tahu mana tindakan yang tepat. Bukankah kamu lelah terjebak dalam masalah ini terus-menerus sampai mati terdengar lebih baik? Itu tidak sehat, Aika."
Untuk sesaat mulut Aika terbuka, hendak mengutarakan kata. Namun, suara seolah menolak untuk keluar, tertahan oleh keraguan hingga akhirnya gadis itu memilih untuk menunduk karena terlalu sungkan. Pak Andra pun menghela napas sabar.
"Jika kamu siap, kamu boleh cerita sama saya. Mungkin tidak sekarang, tetapi nanti. Kamu bisa cari saya di ruang guru atau di akomodaai staf pengajar. Saya tinggal di bangunan kedua." Memastikan bahwa semua bahan makanan yang dibutuhkan sudah berada di dalam troli, Pak Andra pun menepuk-nepuk tangannya, mengusir debu. "Ayo, kembali ke kelas. Yang lain pasti sudah menunggu."
*****
"Halo, assala--"
"Kak Tiza!"
Senyuman tulus di bibir gadis itu mengembang untuk pertama kalinya setelah beberapa lama. Menelepon keluarga adalah obat pereda sakit yang paling ampuh meskipun Aika jadi lebij boros dan tidak bisa jajan sebagai gantinya. Harga wartel di sini keterlaluan mahalnya, tetapi Aika mengerti mengenai konsep menghargai waktu yang diterapkan di belakangnya. "Gimana kabar Adek sama Ibu?" tanya Aika, tangan kiri memegang telepon sementara tangan kanannya membuka kotak makan plastik untuk mengemil hasil kelas PKS-Tata Boga.
"Alhamdulillaah, Adek sama Ibu baik! Oh, iya. Ada kabar keren, loh, Kak!"
"Oh? Apa itu?" Walau tidak dapat menatap langsung, suara antusias adiknya tidak dapat dipungkiri lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
S M A K S A
Teen Fiction"Selamat datang di SMAKSA! Apa dosa orang tuamu?" ***** Sekolah Menengah Atas itu berbeda. Setiap tahun menerima siswa baru, tetapi tidak pernah memiliki alumni. Tidak pernah pula mengadakan acara kelulusan. Mereka yang masuk ke sana dipandang sebe...