Bab 31: Tolong Jangan Pergi

391 84 25
                                    

Aika menghembuskan napas berat.

Dapatkah ia mempercayai dua gadis ini? Tidak pernah terbayang sebelumnya untuk terbuka. Jangankan ke teman-teman yang skeptis padanya, menjelaskan ke Pak Andra yang jelas-jelas mau membantu Aika pun dirinya tidak bisa.

"Jangan diem mulu!" sergah Fina yang makin kesal karena sedari tadi Aika hanya menunduk seraya meremas jari-jarinya. Fina jadi yakin bahwa apapun yang Aika simpan, itu memang kelam. Boleh jadi, Aika memang betul-betul telah membunuh seseorang. Logikanya, untuk apa sukar jujur jika tidak bersalah, kan?

"Aika ...," panggil Ovet yang mulai tidak sabar juga. Namun, gadis itu masih mencoba untuk menahan suaranya agar tetap rendah. "Lo dari mana? Apa yang Fina bilang itu bener? Lo gak betul-betul biang kerok dari masalah ini, kan?"

"Gue ...," Aika menelan ludah, "... bingung harus bilang apa. Tapi," Aika menoleh pada Fina, "apa yang lo liat gak sementah itu, Fin. Lo gak bisa simpulin semuanya sesuka lo. Maaf karena udah buat kalian berdua berantem." Aika menghela napas dan kembali menunduk. "Gue gak pernah bermaksud untuk itu. Dan, maaf juga kalau ... gue belum bisa cerita apa-apa. Semuanya gak semudah it--"

"Bilang aja kalau lo malu ngaku jadi pembunuh. Mana ada maling mau ngaku, kan?" Fina tertawa sinis sementara Ovet mengusap wajahnya frustrasi.

Sementara itu, Aika yang mulai lelah dipojokkan oleh Fina mencoba untuk berani. "Peraturan bilang kalau kita gak boleh tau latar belakang satu sama lain di SMAKSA. Jangankan kasus, nama asli aja gak boleh. Lo pikir kenapa? Karena hal ini, Fin. Orang kayak lo yang simpulin sesuatu sesuka hati bisa bereaksi berlebihan kayak gini. Dulu, awal mula Rion kasusnya nyebar di kamar kita aja karena lo cuma liat TKP sekilas, kan? Padahal dia orangnya ... baik. Jauh dari kesan psikopat yang lo bilang.

"Dan sekarang, lo nyerang gue atas masa lalu yang bahkan gak ada hubungannya sama sekali sama lo. Gak ada satu pun dari kita yang tahu gimana seluk beluknya satu sama lain. Gue gak bilang kalau gue bersih, tapi gue bisa jamin kalau reaksi lo itu berlebihan untuk sesuatu yang lo gak tahu aslinya kayak gimana. Oke, gue ngaku. Teror itu emang buat gue. Tapi--"

"Bacot. Ngaku juga, kan, lo udah bunuh orang?"

"Tapi, lo gak tau masalah kayak apa yang gue sama si pengirim itu punya!" Nada Aika sedikit meninggi sekarang. Ia sungguh frustrasi. "Itu bukan urusan lo sama sekali. Dan satu yang cukup kalian berdua tahu," Aika menatap Ovet dan Fina bergantian, matanya berkaca-kaca, "kalau kalian takut gue nyakitin kalian, gue gak akan pernah lakuin itu. Apapun yang terjadi di masa lalu gue, itu semua murni kecelakaan. Gue bukan orang gila yang suka bunuh orang dan gue bakal masuk penjara kalau misalnya gue emang pembunuh. Bukan masuk SMAKSA."

*****

"Bip! Bip! Akses ditolak!"

"Apaan, sih? Minggir, deh. Gue males ngeladeninnya."

"No. Tetep ditolak. Password-nya Rion ganteng. Bilang dulu."

Aika menatap Rion datar. Namun, Rion tahu. Jika Aika lebih semangat sedikit, kedataran itu bisa berubah jadi agak sangar. Makanya, remaja laki-laki itu pun meringis dalam hati. Pelan-pelan, lengan yang awalnya dipakai untuk menutupi pintu kelas diturunkan dan Aika dapat menerobos masuk kelas.

Siang itu, mereka baru saja selesai makan siang. Ada waktu sekitar lima belas menit lagi untuk sekadar bersantai sebelum pelajaran terakhir dimulai. Oh, tentu saja kelas X IPA 3 yang baru mendapat gempuran Fisika di pelajaran sebelumnya memanfaatkan waktu dengan sangat baik. Ada yang masih jajan di toko, main di luar, ke perpustakaan, ke toilet, dan paling hanya sedikit yang langsung kembali ke kelas. Salah satunya Aika.

Bak komet melintas, tepat ketika acara makan siang ditutup, gadis itu menjadi salah satu yang paling pertama bangkit dari kursi dan menyimpan nampan bekas makan di tempat yang seharusnya. Meski sudah sepakat untuk merahasiakan masalah teror itu, situasi di kamar bersama Ovet dan Fina belum betul-betul membaik sehingga Aika duduk terpisah dari kawan-kawannya. Bangku yang biasa mereka tempati hanya menyisakan Aika saja yang kala itu diapit oleh orang-orang asing yang entah dari kelas mana. Namun, gadis itu sudah masa bodoh dan tidak banyak bicara sampai akhirnya selesai. Lagipula, Aika tidak dapat memaksa siapapun untuk berteman dengannya. Itu egois. Seharusnya, Aika bersyukur karena mereka masih mau merahasiakan tentang teror itu.

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang