Bab 10: Bicara dan Waktu

460 104 13
                                    

"Ku kira suhu, ternyata cupu."

"Berisik, deh, lo!"

"Lagian, bisa-bisanya lo udah dieliminasi di babak pertama."

"Lo pikir lo keren?" sewot Aika sebal. Rion sudah mengucapkan hal itu berkali-kali. "Beres di urutan kedelapan aja, sombong!"

"Lo sembilan. Mending gue delapan."

"Ya, udah! Gak usah diungkit-ungkit mulu." Aika menyilangkan lengan di depan dada. "Lagian, lo juga tau, kan, badan gue masih sakit-sakit. Lo sendiri yang anter gue ke klinik."

"Makasih kembali."

Aika menepuk jidat lelah. Senin pagi yang cerah ini, mereka sudah berada di kelas, menunggu guru pelajaran pertama. Ada kabar baik dan kabar buruk di sini. Kabar baiknya, upacara bendera hari ini cukup singkat karena amanatnya tidak memakan waktu banyak. Dan, seperti yang kalian lihat sekarang, kabar buruknya adalah waktu Rion mengusik Aika menjadi sedikit lebih panjang.

Saat seleksi fisik kemarin, Aika langsung menyerah setelah ada satu orang yang berhenti duluan, tepatnya di urutan kesembilan. Zona eliminasi. Diikuti oleh Rion yang sepertinya pura-pura tidak sanggup, lalu Fina, Ziva, dan yang lainnya. Terhitung, hanya ada tiga orang yang mampu mencapai garis akhir. Orang-orang yang memang ambisius untuk menjadi ketua angkatan sehingga mereka menempati posisi kandidat terkuat saat ini.

Aika, sih, masa bodoh dengan hal itu.

Dia setidaknya bisa bernapas lega karena tidak perlu ikut seleksi lagi. Sedangkan, Rion, Fina, Ziva, bersama lima orang lainnya lanjut ke seleksi tahap dua. Dari pengumuman kemarin, bocoran seleksi tahap dua adalah adu kecerdasan. Entahlah kapan waktunya. Kalau masalah itu, Aika yakin Ziva akan aman. Otak gadis berkerudung tersebut sepertinya lebih encer daripada es liur di bawah matahari. Kalau Fina atau Rion...? Aika tidak tahu. Boleh jadi mereka sebetulnya cerdas, tapi pura-pura bodoh, kan?

Tak lama kemudian, seorang guru berkumis tebal memasuki ruang kelas. Buku-buku yang melebih tebal kumis miliknya diletakkan di atas meja, membuat suara lantang yang otomatis mengheningkan ruangan.

Setelah berbasa-basi dan mengucapkan salam formalitas, beliau pun duduk di kursi, lantas berkata, "Silahkan keluarkan buku PR Matematika kalian. Yang saya panggil namanya; maju dan bawa spidol untuk tulis jawabannya di papan."

Murid-murid pun mendesah pasrah.

Matematika itu ... ilmu yang menyenangkan, bukan?

*****

"Yang gak masuk siapa, yang makin banyak tugas siapa. Sebel gue."

"Ya, namanya juga latihan, Fin. Biar bisa," timpal Aika.

"Tapi, gak harusnya kayak gitu juga...," keluh Fina pelan seraya berjalan menelusuri SMAKSA di malam hari. Mereka baru saja selesai makan malam. "Kalau gak masuk, harusnya totalitas, dong. Masa ngasih tugas seenaknya? Mana materi baru. Gak paham gue."

"Makanya, belajar!"

"Gak semudah itu, Opet!"

Ovet pun mendengus. Seenaknya sekali Fina terus-terusan memanggilnya Opet!

"Sampai kapan, sih, lo mau panggil gue 'Opet'? Malang banget nama samaran gue."

Berbeda dengan Aika yang hanya terkekeh pelan sambil terus berjalan, Fina justru berkata dengan santai, "Ketika gue panggil nama lo jadi 'Ovet', di situ pertemanan kita gak baik-baik aja, Pet." Gadis itu nyengir lebar. "Kita, kan, bestie."

"Yeu...! Dasar lo, Pinot."

"Ah! Akhirnya, gue punya panggilan akrab! Makasih, loh." Fina mengedipkan mata jahil, membuat Ovet mengernyit dan bergidik ngeri.

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang