Bab 34: Pengakuan Rion

247 63 27
                                    

"Lo mau bawa gue ke mana, sih?"

Aika mulai geram atas perlakuan Rion yang seenaknya menggiring Aika entah ke mana. Ia juga merasa risih dan tidak nyaman karena Rion terus menggenggam pergelangan tangannya sedari tadi. Sudah macam bapak bebek yang tidak mau kehilangan anaknya.

Namun, sepertinya Rion tidak mengindahkan perkataan Aika sama sekali karena bocah itu terus berjalan membelah jalan setapak di sekitar sekolah sampai akhirnya mereka tiba di area pepohonan yang cukup jauh dari hiruk-pikuk kehidupan SMAKSA di area utama. "Lo k-kenapa bawa gue ke sini?" Aika mulai panik ketika mereka berhenti.

Hanya terdengar suara burung dan pohon bergesekan tertiup angin di sekitar mereka, sisanya sunyi. Sudah tidak ada siapa-siapa di sini. Gadis itu mundur selangkah ketika Rion akhinya berbalik menghadapnya. Normalnya, Aika akan menggeplak Rion karena usil membawanya ke tempat seperti ini. Akan tetapi, setelah segala yang terjadi padanya selama ini, jantung Aika justru berdegup cukup kencang. Perasaannya was-was berselimut ketakutan.

Rion pun menghela napas dan menggelengkan kepala. Dia sungguh tidak mengira bahwa Aika akan secemas ini ketika bersamanya. "Lo gak perlu khawatir. Gue bawa lo ke sini karena gak mau ada yang denger obrolan kita. Itu aja." Lantas, bocah itu mengambil beberapa lembar koran dari balik pohon dan menggelarkannya di atas semak-semak yang ... merunduk? Seperti sudah pernah diduduki sebelumnya.

"Gue sering ke sini buat menyendiri kalau lagi mumet," jelas Rion sambil merapihkan alas duduk mereka. Dia tidak mau Aika berpikir macam-macam. "Liat pohon itu?" Rion menunjuk salah satu pohon yang permukaanya tidak mulus. "Korban latihan panahan gue. Jadi, lo gak perlu khawatir gue bawa lo ke tempat random buat macem-macem. Ini cuma ... spot favorit gue di SMAKSA buat sendiri."

Rion pun menduduki koran tersebut dan menepuk-nepuk posisi di sebelahnya. "Ayo, sini."

Meski awalnya ragu, Aika pun menghela napas dan ikut mendaratkan pantatnya di bagian ujung koran, memberi jarak antara dirinya dengan Rion. "Lo mau kasih tau apa?" tanya gadis itu tanpa basa-basi.

Sejenak Rion menunduk dan memejamkan mata. Dia bingung harus mulai dari mana. "Gue ...," Rion membuka matanya kembali dan menatap Aika. Netra coklat gelapnya penuh penyesalan, "... minta maaf, Ai."

Aika tidak berkata apa-apa. Namun, matanya seolah berbicara, menuntut penjelasan lebih lanjut.

Minta maaf untuk kesalahan yang mana?

"Maaf udah biarin lo sendiri selama ini. Maaf udah buat lo ngerasa ... terbuang. Gue gak pernah berniat kayak gitu. Maaf ... karena gue berpikir bahwa jalan yang gue ambil itu udah yang terbaik tanpa minta pendapat lo sama sekali dan akhirnya buat lo terluka."

"Maksud lo apa?"

"Pemilihan ketua angkatan nanti ... gak sesederhana itu, Ai. Gue sama calon yang lain gak cuma disuruh ngumpulin pendukung. Kalian juga gak cuma disuruh buat milih salah satu dari calon yang ada. Ini lebih gila."

"Lebih gila gimana?" Rasa khawatir dan penasaran mengusik Aika.

Rion pun mengusap wajahnya kasar dan terkekeh ironis. "Calon ketua angkatan yang ada disuruh buat cari tau kasus-kasus yang nimpa orang tua dari anak-anak di SMAKSA."

Napas Aika tercekat tidak percaya.

"Semakin banyak yang kita tau, artinya semakin tinggi juga skor kepercayaan kita karena mereka mau terbuka tentang masalah mereka ke calon ketua angkatan," lanjut Rion. "Dua calon yang punya skor tertinggi itu yang nantinya bakal jadi calon ketua angkatan yang sebenarnya. Yang bakal kalian pilih. Sisanya bisa jadi wakil atau berhenti karena dieliminasi."

"T-terus, apa hubungannya sama lo ngejauhin gue selama ini?" Aika akhirnya menuntut, menyuarakan kebingungannya atas sikap Rion selama ini. "Kalau lo emang butuh lebih banyak temen yang bisa lo korek rahasianya, lo gak perlu perlakuin gue kayak dulu, kan? Lo gak perlu ngebuang gue. Lo bisa bersikap kayak biasa sambil---tunggu, apa lo ngejauh karena lo pikir gue gak akan percaya buat ceritain rahasia gue ke lo?"

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang