Bab 22: Masa Lalu Menghantui

305 84 74
                                    

Warning.

Agak dark sikit.

*****

Silau.

Itulah yang pertama Aika rasa ketika membuka matanya. Rasa sakit di kepala membuatnya meringis dan kembali memejamkan mata. Bahkan, belum sempat sepenuhnya mencerna apa yang terjadi, Aika lebih dulu disambut oleh sesuatu yang ia kira tak akan pernah rasakan lagi.

Byur!

"Bangun, lo!"

"Uhuk, uhuk!" Tubuhnya yang lemah langsung basah kuyup dan menggigil kedinginan. Karena tak sempat menahan napas, Aika tak sengaja menghirup air es sehingga membuatnya tersedak. Sungguh.... Dadanya sesak sekali sekarang.

Tubuh gadis itu pun meringkuk takut, berharap apa yang saat ini ia alami tak nyata. Namun, bongkahan es kecil yang berada di sekitar tubuhnya terlalu nyata untuk menjadi khayal semata. Apa yang sedang terjadi?

Pikiran kalang kabut Aika dipaksa berhenti ketika lagi-lagi, guyuran air dingin membasahi tubuhnya yang menggigil menyedihkan. "T-tolong.... Berhenti," mohon Aika lirih. Air mata menggenang di pelupuk. Pandangannya buram sampai ia tak dapat melihat dengan jelas di mana atau bersama siapa ia sekarang. Yang Aika tahu hanyalah dingin.... Dingin sekali dan pusing. Lantainya kotor, meninggalkan jejak noda kasat mata di pakaian dan kulit Aika. Silau yang tadi menyapa ternyata hanya lampu redup satu meter di atas kepala. Saat menunduk, Aika sadar bahwa kondisinya ternyata remang-remang.

Apakah ini akan menjadi hari terakhirnya di dunia? Ibu bahkan belum memaafkannya. Apa harus semenyedihkan ini akhir hidupnya? Tidak. Dia belum mau mati!

"Berhenti, lo bilang?" decak sang eksekutor. Tatapannya terasa begitu tajam dan menusuk meskipun Aika tak berani mendongak sama sekali. "Lo tau apa yang gue dapet waktu mohon seseorang buat berhenti dulu?" Jeda yang sengaja dibuat seolah menghentikan waktu, membuat suasana begitu hening, senyap.

"Orang yang gue sayang mati...."

Tubuh Aika membeku. Ia akhirnya sadar siapa algojonya saat ini.

Ardiaz.

"ORANG YANG GUE SAYANG MATI GARA-GARA LO, ANJING!"

Byur!

Aika kembali tersedak dan batuk akibat air es yang lagi-lagi dijadikan alat siksaan. Entah perasaan Aika saja atau bagaimana, bongkahan-bongkahan es yang membentur tubuhnya bersama air terasa lebih besar, lebih menyakitkan. Sakit, perih, dan dingin begitu menusuk kulit, membuatnya hanya bisa meringkuk dan terisak lirih sementara tubuhnya gemetar menggigil.

"Liat gue," ujar lelaki itu dingin. Namun, Aika tak mengindahkan. Sungguh, ia ketakutan!

Sayangnya, sikap Aika menjadi pupuk yang begitu subur bagi kemurkaan Ardiaz. Tanpa iba, remaja lelaki itu pun mencengkeram rambut Aika dan menariknya ke belakang, membuat perempuan yang lebih rendah darinya itu mendongak paksa dan merintih kesakitan. "Gue mau lo inget baik-baik wajah gue, Irtiza...," titahnya dingin, " ... karena gue gak bakal biarin hidup lo tenang sama sekali."

Isakan lirih Aika mengeras sementara ia berusaha keras untuk menggelengkan kepala, memohon agar Ardiaz tidak melakukan itu. "T-tolong. Ampun...."

Ardiaz malah tertawa. "Lo kira gue Tuhan?" Dihempaskannya kepala Aika seolah ia adalah gadis terbodoh di dunia. "Lo mau minta ampun seribu kali pun, orang yang gue sayang tetep mati. Lo udah buat gue kehilangan dia!"

Gue juga kehilangan segalanya!

"G-gue minta maaf. Gue gak bermak--"

Plak!

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang