Bab 27: Sapaan

279 69 11
                                    

"Ziv, apa lo bakal ninggalin kita di sini...?"

Topik itu tiba-tiba saja terbawa ke permukaan oleh Fina, padahal mereka semua sudah siap sekali tidur setelah sebelumnya bersih-bersih usai makan malam dan mengerjakan PR. Ketika Ziva membuka kabar tadi sore, semua terlalu sibuk ikut bahagia dan menyelamati sehingga lupa bahwa selalu ada sisi lainnya, bersama berita baik, maka datang pula berita buruk.

Bukankah keseimbangan memang hukum semesta?

Ziva yang mendengarnya pun menaikkan bahu meski Fina tidak dapat melihatnya dari kasur bawah. "Aku belum tahu, Fin. Besok, aku diizinkan libur dulu untuk menjemput Ibu. Baru kami akan sama-sama cari tahu apa yang harus dilakukan setelah ini. Boleh jadi, aku tetap di sini karena Ibu sudah gak punya biaya untuk sekadar tempat tinggal, apalagi membayar keperluan sekolah."

"Tapi, lo pinter, sih. Gak mungkin kalau gak bisa dapet beasiswa, minimal beasiswa yayasan kalau pindah ke swasta kayak Adhinata Bangsa."

Hening menguasai ruangan sejenak. Entah apa yang ada di pikiran Ziva sehingga gadis itu terdiam cukup lama. Meski membisu, Aika diam-diam tetap mendengarkan karena dia sendiri tidak bisa tidur. Kalau boleh jujur, otak Aika malah dipenuh harapan bahwa Bapak juga bisa bebas secepatnya seperti ibunya Ziva. Namun, Aika sungguh tidak berdaya membantu atau berbuat apa-apa dari sini.

"Gue bakal kehilangan temen sebangku gue, dong, ya?" gumam Ovet rendah. Gadis itu menghela napas. "Kalau lo beneran pindah, temen gue yang waras bakal habis dari kamar ini...."

"Kampret lo, Pet! Gue juga orang waras!" sembur Fina tidak terima.

"Idih. Sadar diri dikit kali!" timpal Ovet tidak mau kalah. "Lo tukang halu sama suka heboh sendiri. Si Aika moody parah. Kadang aman, tapi belakangan udah kayak mayat idup. Bengong diem mulu kerjaannya. Cuma Ziva temen gue yang waras!"

"Lah? Lo sendiri juga gak waras!" Fina mendelik sengit pada Ovet. Kebetulan kasur mereka sejajar. "Dikit-dikit nethink. Dikit-dikit skeptis, galak. Lo ...." Rahang Fina mengatup, "... Problematic!"

"Namanya trust issue, Pinot! Gue punya alesan sendiri!"

"Bisa-bisanya trust issue, tapi gampang kehasut apa kata orang. Dulu pas si R masih belum terbukti baik, masih seliweran katanya gak bener, lo ikutan suruh si Aika jauhin. Nethink bawaannya. Padahal lo sendiri gak tau apa-apa soal dia."

"Kan, yang bawa berita pertama tentang si R itu lo, Pinot! Astaga ...." Ovet menepok jidat. "Wajar, dong, gue percaya. Jadi orang itu harus waspada. Lo temen gue, lo juga tau si R dari sebelum masuk sini. Tapi, kenapa sekarang malah lo yang biasa aja sama dia? Dasar labil!"

Belum sempat Fina menjawab, Ziva sudah lebih dulu memotong konflik mereka berdua sebelum perang dunia ke dua setengah terjadi. "Aduh ...! Sudah malam. Lebih baik kalian tidur daripada berantem seperti ini."

"Ovet duluan!"

"Fin, gak usah mancing-mancing."

"Ngerasa jadi ikan, ya, lo?"

"Kampre--"

"Sudah. Tidur!"

Semuanya langsung hening. Itu adalah pertama kalinya mereka mendengar Ziva yang biasanya lembut berubah tegas. Mau bagaimana lagi? Ziva yang tadinya senang malah jadi stres sendiri mendengar pertarungan dua teman sekamarnya. Aika yang sedari tadi hening saja ikut ciut. Wah, ternyata orang lembut kalau sudah marah cukup seram juga, ya?

******

Hari-hari berikutnya berlalu hampir seperti biasa. Sekolah, pulang ke asrama, sekolah lagi, pulang lagi. Kurang lebih begitulah rutinitas siswa dan siswi SMAKSA pada umumnya. Ziva juga diberikan waktu sampai akhir pekan ini untuk memutuskan akan pindah atau tidak. Secara teknis, ibunya sudah bebas. Ziva tidak berkewajiban untuk bersekolah di sini lagi. Namun, dia tetap dapat melanjutkan di SMAKSA jika mau. Lagipula, setelah lulus nanti, ternyata Ziva atau yang lainnya tidak akan mendapat ijazah SMAKSA. Untuk menjaga kerahasiaan dan nama baik siswa yang lulus, murid SMAKSA akan terdaftar sebagai siswa Adhinata Bangsa. Ketentuan yang sudah ada sejak sekolah ini berdiri.

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang