Bab 9: Insiden dan Seleksi Pertama

409 96 16
                                    

"Gak! Bapak gak boleh dibawa! Bapak gak boleh pergi!"

"Sudah.... Bapak gak apa-apa, Nak."

"Gak...!" Aika mengangguk kuat dan terisak dengan air mata membasahi wajah. "Bapaknya Tiza orang baik.... Jangan dibawa...."

"Tolong jaga semuanya selama Bapak gak ada, ya?"

Aika menangis sejadi-jadinya, mencoba mempertahankan genggaman tangannya dengan sisa tenaga agar sang ayah tidak dibawa polisi. Namun, apalah daya seorang gadis kelas 3 SMP? Tenaganya tidak berbanding sama sekali dengan dua orang petugas kepolisian berbadan kekar.

Tubuhnya berakhir di atas jalanan kasar. Sudah terlalu lemah saat pegangannya ditepis kasar dari Bapak. Isak tangis yang begitu pilu menembus kebisingan suasana penangkapan.

"Selalu ingat pesan Bapak, Za!" seru Bapak sebelum dimasukkan ke mobil polisi.

Irtiza, atau yang kini dikenal sebagai Aika hanya bisa menangis meraung menatap kepergian mobil-mobil polisi. Relung hati dipenuhi rasa sesal. "Bapak...!"

Tubuh Aika mengerjap di atas ranjang, bersamaan dengan terbukanya kedua mata yang berlinang. Mimpi itu lagi.... Mimpi yang selalu menghukum Aika. Mimpi yang datang berulang-ulang, dimulai dari peristiwa malam kelam itu dan berakhir dengan tangisan Aika. Lagi dan lagi.

Gadis itu meringkuk dan menaikkan selimut hingga pundak. Isak lirih hampir tak terdengar sama sekali karena begitulah Aika menghendakinya. Ia tidak mau membangunkan teman sekamarnya. Sempat melirik jam, ini masih pukul dua pagi.

"Maafin Tiza, Pak...," bisiknya parau. "Tiza yang salah. Bukan Bapak."

******

"Aika."

"Aika!"

"Yuhuw."

"Aika...!"

"APA?!"

Mendapat respon yang ekstra dari Aika, Rion pun nyengir. "Gue punya coklat. Lo mau?"

Aika menepuk jidat lelah. Jadi, daritadi Rion mengganggunya karena hendak menawari coklat? Padahal, kan, gadis itu sedang tegang karena akan LBSA lagi! Ya, ampun....

"Gak mau," jawab Aika akhirnya.

"Tapi, coklat itu bagus, loh, buat naikin suasana hati, Ai. Fakta sains."

"Buat apa lo ngomong gitu?" delik Aika.

"Soalnya lo bawaannya kelam mulu dari tadi. Jelek tau, Ai. Coba makan coklat biar bisa senyum lagi."

"Gak."

"Tapi, nanti cantiknya gak muncul kalau gak senyum." Bibir Rion jadi melengkung ke bawah. "Yuk. Bisa, yuk. Senyum lagi, Ai. Kayak gini." Bocah itu langsung menaikkan kedua sudut bibirnya menggunakan telunjuk kanan dan kiri, membuatnya terlihat menggemaskan sekali.

Aduh....

Aika kembali meragukan artikel yang ia baca tempo hari. Ya, ampun. Rasanya sulit sekali percaya bahwa Rion terlibat pembunuhan itu di saat sikapnya .... sikap anak bebek ini.... ah! Sudahlah. Aika pikirkan nanti saja.

"Coklat, Ai...?" tawar Rion sekali lagi. "Yakin, gak mau? Rasa almond, loh, ini."

Almond.... Kacang mahal kesukaan Aika yang tidak pernah bisa dibeli banyak-banyak. Sekalinya dibelikan kacang almond, itu hanya untuk membuat kue lebaran pesanan tetangga. Aika hanya bisa memakan tiga sampai empat lembar almond kecil yang tipis sebelum ditegur Ibu. Katanya, nanti boleh dihabiskan kalau ada sisa. Takut kurang untuk pesanan.

Nah, masalahnya, sisa kacang itu selalu Ibu remukkan dan pakai untuk membuat kue lebaran yang lain. Kalau Aika beli kacang almond sendiri, sayang uang sakunya yang terbatas itu untuk membeli kuota. Ah, rumit pokoknya.

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang