Bab 28: Desas-Desus

276 65 7
                                    

"Siapa!?"

Ruangan hening.

"Tidak ada yang mau mengaku?" Para siswa dan siswi tidak dapat berkutik sama sekali. "Baik...."

Beberapa orang menelan ludah ngeri. Tatapan orang-orang dari bagian keamanan dan kesiswaan betul-betul mencekam, mengintimidasi. "Kalau begitu besok tidak ada sarapan untuk kalian semua."

Barulah suara bising dan desah kecewa terdengar memenuhi ruang makan yang tadinya hening. Siapa, sih, yang mengacau di sini? Kenapa semua jadi harus kena imbasnya?

"Jika tidak ada yang berani mengaku di sini, atau jika ada yang memiliki secuil saja informasi, saya tunggu di ruang keamanan sampai jam sembilan malam nanti." Netra tajamnya menghunus ke segala arah di mana para siswa dan siswa sedang duduk tegang. "Saya tegaskan. Di sini, kalian semua dididik agar jadi manusia yang baik! Bukan tukang tindas yang tidak punya otak dan hati seperti pengirim kertas ini!"

Suara lantang--cenderung bentakkan--pria paruh baya itu kembali membungkan semua orang di ruangan sampai hening. Terutama saat tangannya kembali mengacungkan kertas bertuliskan 'PEMBUNUH!' dengan murka. Tidak ada yang bahkan berani menatapnya. Semua sisiwa otomatis menunduk takut dan segan.

"Jika ada yang punya masalah, selesaikan baik-baik. Jika masalahnya besar, maka minta bantuan pada orang-orang yang lebih tua untuk mediasi. Jangan seperti ini! Paham!?"

Tidak ada berani menjawab.

"Saya tanya! Kalian paham!?"

"Siap! Paham!"

Setelah beberapa detik ketegangan lagi, barulah siswa dan siswi SMAKSA dapat bernapas lega dan memulai makan malam karena para "tetua" telah meninggalkan ruang makan. Keluh dan bisik-bisik pun mulai mengisi atmosfer di sana.

Kebanyakan merasa keberatan dan terganggung akibat masalah kertas teror itu. Bagaimana bisa satu orang pengacau membuat semua tidak dapat sarapan? Sialan! Siapa pula yang mendapat surat itu? Lebih dari 90% penghuni SMAKSA tidak tahu apa-apa karena tiba-tiba diberi tekanan mental seperti tadi. Padahal, tubuh sudah lelah dan lapar selepas LBSA. Eh, batin pun dikuras juga dengan acara marah-marahan mendadak. Ini adalah salah satu hari paling tidak beruntung di SMAKSA.

Di sisi lain, biang kerok dari persoalan ini kebanyakan diam dan saling melempar tatapan tidak enak dengan wajah yang agak pucat. Sungguh. Tidak pernah terpikir bahwa melaporkan kertas yang mereka temukan di kamar akan sebesar ini imbasnya. Syukurnya, bagian keamanan dan kesiswaan tidak membeberkan identitas pelapor, tetapi tetap saja rasa bersalahnya mengikuti.

Ya, para penghuni kamar 113 alias Aika, Ovet, Ziva, dan Fina sedari tadi hanya dapat diam tidak enak hati. Bahkan, ketika teman-teman mereka di kanan dan kiri sibuk mengeluh dan merasa geram pada para pelapor serta pelaku, mereka hening saja dan berpura-pura fokus pada makan malam mereka yang sudah dingin di nampan.

"Siapa, sih, yang nekat gitu!? Ganggu aja!"

"Iya. Itu juga yang lapor. Gegara kertas doang sampe gini. Alay banget!"

"Biang kerok pembawa sial emang. Gue jadi harus keluar duit buat sarapan besok! Mana gue punya maag lagi."

"Siapa tau makanan di toko juga malah abis besok pagi gara-gara gak ada yang sarapan. Gila, sih.... Kalau tau orangnya, gue labrak, jir!"

"Iya! Suruh ganti duit buat sarapan! Mana harus bangun lebih pagi biar gak keabisan makanan di toko."

Aduh. Jago sekali jika telinga keempat gadis itu tidak panas selama makan malam berlangsung. Apalagi bisik-bisik julid dan keluh-kesah tidak berhenti sampai di sana. Mana semua harus keluar bersama-sama lagi. Artinya, tidak ada yang dapat meninggalkan ruang makan duluan sebelum semuanya selesai.

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang