Bab 4 : Bakal Calon Ketua Angkatan

537 123 16
                                    

"Mohon perhatian!"

Seseorang di ujung ruangan mengangkat tangannya di udara, meminta perhatian mutlak dari semua orang yang berada di sini. Tubuh kakak kelas itu begitu tegap, bak telah mengikuti pelatihan militer. Boleh jadi, beberapa siswi bahkan menaruh hati dalam sekali lirik.

"Bagi murid baru, silahkan pergi ke aula. Sekarang!"

Bak semut yang mendapat komando, para murid kelas 10 pontang-panting beranjak dari kursi di ruang makan untuk pergi ke aula. Sudah tiga hari semenjak ujian itu. Sebetulnya, mereka sedang dalam masa santai karena menunggu pembagian kelas. Makanya, komando yang diluncurkan pagi ini membuat mereka agak bingung.

Ada apa sebetulnya?

Awalnya, Aika kira akan ada sesi tekanan atau ospek apapun itu. Namun, saat tiba di aula, mereka semua justru diminta untuk duduk. Total seratus dua puluh siswa dan siswi kelas 10 dipersilahkan duduk dalam posisi acak di aula.

Ketika beberapa kakak pembimbing naik ke panggung aula, suasana pun kembali hening. Yang berdiri di tengah adalah yang berseru di aula tadi. Meskipun agak kebingungan, mereka semua nampak sama penasarannya dengan agenda kali ini.

Jika di ruang makan tadi kesannya lebih tegas dan otoriter saat memberi komando, maka auranya di aula beda sekali. Meskipun masih terlihat sangat berkharisma, dia lebih santai kali ini.

"Baik. Terima kasih atas kemudahan yang kalian berikan saat diajak berkoordinasi," mulainya. Aula masih hening. "Kalian mungkin bingung mengenai agenda yang terkesan tiba-tiba ini, tapi percayalah. Ini akan menjadi salah satu agenda terpenting bagi tiga tahun kehidupan kalian di sini.

"Sebelumnya, kami izin memperkenalkan diri. Nama dinas saya adalah Zaid. Ketua angkatan tahun 2019," ujarnya penuh rasa bangga.

Lantas, seorang perempuan maju dan berdiri sejajar di sebelahnya. "Dan saya, Mara, ketua angkatan 2020."

Whush...!

Aika sampai merinding melihat Mara memperkenalkan diri. Meskipun dia perempuan, tapi aura kepemimpinan dan kharismanya sungguh terasa sekali.

"Di belakang kami adalah sebagian keluarga kami yang sedang bertugas hari ini," jelas Mara. "Seperti namanya, keluarga, mereka adalah kakak yang dengan lapang hati meluangkan waktu untuk kalian, adik baru kami yang harus dibimbing agar siap menjalani kehidupan di SMAKSA selama tiga tahun ke depan."

"Namun," sambung Zaid, "layaknya manusia biasa yang terbatas, kami tidak bisa terus mendampingi kalian di sini. Akan ada saatnya kami mengurusi keluarga kami sendiri dan ada pula saatnya kita mengucap perpisahan. Maka dari itu, kami mencari penerus untuk mengayomi kalian. Seorang ketua angkatan yang akan berdiri bersama kami di sini, yang akan menjadi penghubung, yang akan melerai, serta merekatkan angkatannya. Dia akan menjadi wakil dari aspirasi kalian serta wakil dari kami juga untuk menjaga kalian selama di sini."

Mara mengangguki perkataan Zaid. "Layaknya kakak tertua dalam sebuah keluarga, dia juga akan menjadi panutan, pemberi saran, dan tameng terkuat bagi adik-adiknya saat ada masalah. Baik dengan angkatannya sendiri, maupun dengan angkatan lainnya."

"Maka dari itu," lanjut Zaid lagi seraya maju selangkah ke depan, "di hadapan kalian ini, kami akan bertanya.... Apakah ada seseorang yang sudah merasa pantas menjadi sosok itu?"

Semua diam.

"Lelaki atau perempuan, tidak masalah. Jika kalian merasa peduli pada teman-teman kalian, acungkan tangan!" seru Mara.

Semua masih diam dan hening. Tidak ada satu pun yang mengacungkan tangan. Semuanya sangsi dan ragu.

"Kami tahu kalian baru beberapa hari di sini...." Suara Zaid kini lebih mencekam dari sebelumnya. "Tapi, apa di hatinya memang tidak ada yang tergerak untuk merasa peduli? Kalian mau hidup sendiri-sendiri di sini, hah?! Lebih suka hidup apatis?!"

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang