Bab 29: Bukan Solusi

238 70 21
                                    

Trigger warning!

Suicidal thoughts and suicide. Kalau lagi ngerasa gak baik-baik aja, mending jangan dulu baca part ini. Ambil positifnya saja.

Makasih sebelumnya :)

******

"Lo harus selalu nyapa kita tiap LBSA! Wajib hadir di lapangan!"

"Iya, Fin. Janji." Ziva tersenyum seraya memeluk Fina serta dua kawan lainnya sebelum pergi. Koper dan tas Ziva yang sudah rapi terlihat dibawakan oleh seorang pria paruh baya berpakaian hitam formal. Dari mata Aika, gaya beliau terlihat seperti Pak Arman, pria yang dulu mengantarkan Aika ke sini dan yang akan menjemputnya juga setelah lulus. Mungkin memang tiap siswa diberikan pendamping semacam itu. Wali sementara selama di SMAKSA selama orang tua mereka tidak dapat mengemban tanggung jawabnya.

"Ovet, jangan galak-galak di kamar, loh! Kasihan Fina sama Aika," peringat Ziva dibumbui nada humor. Ovet hanya dapat memberengut menanggapinya. Hatinya masih tidak rela melepas Ziva, yang notabenenya adalah teman sebangkunya di kelas. Siapa yang bisa Ovet sontek kalau dia lupa mengerjakan tugas?

Air mata dan isak tangis malu-malu tidak dapat ditahankan sejak awal Ziva berkata akan pindah. Apalagi ketika mengemasi barang di kamar dan sekarang mengucap selamat tinggal. Mereka tahu bahwa mereka tetap dapat saling bertemu setiap Jumat Sore saat LBSA atau jika Ziva iseng berkunjung dari balik pagar tinggi SMAKSA seperti Fina dengan pacarnya. Namun, tetap saja. Kehilangan teman sekamar sudah seperti berpisah dengan saudara sendiri.

Apalagi untuk Aika. Dari semua teman-temannya di kamar, dia paling dekat dengan Ziva karena gadis itu yang paling lembut dan bisa pengertian. Beda dengan Fina yang seperti handuk panas dan Ovet yang seperti ombak galak di malam hari. Bagi Aika, Ziva itu seperti selimut nyaman. Aika juga satu-satunya yang mengetahui rahasia kelam Ziva. Empati dan kepercayaan yang lebih kuat terbentuk. Sudah tidak aneh jika mereka lebih dekat meskipun Aika sendiri tidak terbuka mengenai masa lalunya.

"Take care, Aika...." Ziva mengusap-usap punggung Aika dengan lembut ketika mereka berpelukan. Aika yang berusaha tidak terisak hanya mengangguk lemah. Satu sandarannya hilang. "Jangan lupa jaga ibadahnya. Aku sudah gak bisa membangunkan kamu untuk subuhan setelah ini."

"Makanya, jangan pindah...."

Ziva hanya tersenyum simpul dan menarik diri untuk memandang sahabatnya. "Kamu harus lebih terbuka lagi setelah ini. Jangan terlalu banyak memendam sendiri. Masih banyak masalah kamu yang aku gak ketahui, tetapi aku harap kamu akan mau berbagi dengan Fina dan Ovet. Sekarang, hanya kalian bertiga yang memiliki satu sama lain di kamar."

Aika tidak dapat menjawab sama sekali, melainkan mengusap air matanya dari pipi. Selesai berpelukan dengan Ovet dan pamit untuk yang terakhir kalinya, punggung Ziva pun semakin jauh dan mengecil, lantas menghilang ditelan hutan yang memisahkan SMAKSA dan SMA Adhinata Bangsa.

****

"Lesu banget keliatannya."

Aika hanya melirik sekilas, tetapi tidak menanggapi basa-basi Rion sama sekali. Kepalanya masih tersandar dengan nyaman di lipatan tangan di atas meja. Gadis itu sudah lama menyerah pada tingkah laki-laki. Mereka semua sama saja, brengsek. Kecuali, Bapak. Namun, tidak menutupi kemungkinan bahwa Bapak juga pernah brengsek, entah itu pada Ibu di rumah atau perempuan lain.

"Gue udah denger tentang pindahnya temen sekamar lo," ujar Rion seraya menduduki bangku di belakang Aika, tahtanya seperti biasa di kelas. Aika pun menghela napas berat. Kenapa harus bawa-bawa pindah lagi, sih? Dia, kan, jadi sedih.

"Gue tau kita semua udah pernah sama-sama rasain yang namanya kehilangan.... Gak ada hak juga buat gue bilang ke lo untuk gak sedih. Tapi, lo harus tahu kalau people always come and go. That's just how life works. Rasanya gak mudah, tapi coba untuk terbiasa."

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang