Bab 18: Dia Berubah

304 79 28
                                    

"Baiklah. Mumpung masih ada lima belas menit lagi, jika tidak ada yang bertanya mengenai ulangan bab 2 sebelumnya, kita akan melanjutkan pembahasan ke bab 3."

Erangan penuh keluh pun terdengar rendah dari para siswa X IPA 3. Jam sudah menunjukkan pukul dua lebih. Artinya, bel pulang yang sangat dinantikan itu makin dekat di jam 14.20 nanti. Tinggal 15 menit lagi, sesuai dengan yang dikatakan guru Bahasa Indonesia tadi. Kenapa tidak bisa diskon waktu saja?

"Silahkan buka halaman lima puluh tiga," pinta guru wanita paruh baya berjilbab hitam itu. Sama seperti guru dan staf di SMAKSA lainnya, aura ketegasan begitu memancar sehingga murid-muridnya segan. Kinerjanya juga tidak bisa dibilang buruk. Aika yang biasanya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia malah menikmatinya sejak diajari oleh guru bernama Ibu Yani ini. "Pembahasan kita selanjutnya adalah teks anekdot. Apakah ada yang sudah pernah dengar mengenai anekdot sebelumnya?"

Sebagian besar murid mengangguk.

"Ada yang ingin mencoba menjelaskan apa itu teks anekdot? Angkat tangan."

Tiga orang yang Aika kenal cukup ambisius pun mengacungkan tangan. Satu orang dipilih, dan dia segera menjelaskan, "Teks anekdot adalah cerita lucu yang biasanya mengandung sindiran."

"Ada yang ingin menambahkan?"

Satu orang mengacungkan tangan lagi. "Biasanya, didasari oleh kejadian nyata atau tentang sindiran untuk orang penting."

Ibu Yani pun mengangguk-angguk, merasa cukup puas dengan jawaban murid-muridnya. "Betul apa yang dikatakan teman-teman kalian. Teks anekdot merupakan sebuah karya sastra bangun prosa...." Beliau menjelaskan selama beberapa menit ke depan dengan runtut dan menarik, menggembala perhatian kelas, kecuali beberapa orang.

Aika salah satunya. Apa yang gadis itu lakukan? Dia sibuk melirik Rion sesekali sambil mencoba fokus ke penjelasan yang dipaparkan. Namun, rasanya sulit sekali. Sikap remaja lelaki itu berubah cukup drastis sejak namanya terpampang di majalah dinding sebagai lima besar calon kandidat ketua angkatan. Bahkan, Rion yang biasanya mengganggu Aika tak kenal waktu saja berubah menjadi pendiam seperti ini. Apa yang sebetulnya terjadi ketika mereka semua dikumpulkan di aula?

Tak lama, bel yang ditunggu pun berbunyi. Siswa dan siswi yang ada di kelas sudah bersiap untuk pulang, mereka dalam keadaan duduk rapi dengan semua buku telah dimasukkan ke dalam tas.

"Jangan lupa pelajari kembali materi ini. Cari satu contoh teks anekdot dari sumber di perpustakaan. Cantumkan pula referensi kalian. Sampai bertemu minggu depan."

Diakhiri dengan salam, kelas pun akhirnya selesai untuk hari Senin. Semua berhamburan keluar seperti semut yang mencari makanan. Lorong-lorong ramai oleh kebisingan yang dibuat penghuni sekolah. Canda, tawa, gosip, dan suara-suara lainnya bercampur aduk, membuat SMAKSA nampak seperti sekolah menengah atas pada umumnya, dengan peserta didik normal tanpa beda.

"Ri...!" seru Aika yang mencoba menyejajarkan langkah. "Tunggu, dong! Kaki gue, kan, gak sepanjang lo!"

Bocah itu tidak menjawab sama sekali, melainkam terus melangkah tergesa-gesa. Seolah hampir ketinggalan kereta. Eh, malah Aika yang tertinggal di belakang karena malas mengejar. Dia keburu sebal. Rion itu kenapa, sih? Kok, malah menghindari Aika sekarang?

*****

"Masih lama, gak, nyucinya, Ai?"

Aika yang tadinya sedang mengucek baju tidur langsung mendongak ketika Fina bertanya. "Masih agak lama kayaknya. Cucian gue ada setengah ember lagi."

"Aduh.... Kalau gue mau pake kamar mandi duluan boleh, gak?" Fina membungkuk sambil memegangi perutnya. "Ah! Udah diujung ini!"

Antara ingin tertawa dan kasihan, Aika pun bangkit dari tempatnya berjongkok tadi. Lantas, ia mendororong ember berisi cucian miliknya ke samping dan mencuci tangan sebelum keluar dari kamar mandi. "Ya, udah. Lo duluan."

S M A K S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang